Lelaki pendek itu duduk di sebuah kursi panjang, menatap kosong lantai keramik di bawahnya. Entah apa yang ia pikirkan—mungkin tidak ada. Tatapan itu begitu kosong, tubuhnya tidak bergerak sama sekali, hanya hembusan nafas yang begitu pelan—bahkan nyaris tidak terdengar.
Sebuah pintu terbuka di sebelahnya, menampilkan seorang wanita yang hampir menginjak kepala empat keluar dari dalam ruangan itu. Matanya menatap sendu laki-laki muda yang tengah duduk termenung di hadapannya. Perlahan, ia menghampiri laki-laki itu dan duduk di sebelahnya.
"Masuklah ke dalam. Ibumu ingin melihatmu."
Satu tetes air bening berhasil jatuh dengan mudah dari balik mata yang masih menatap dengan kosong itu. Beberapa saat kemudian, tatapan itu kini mulai memancarkan kesedihan dan kerapuhan yang ia rasakan di dalam hatinya.
Wanita di sebelahnya tak mampu berucap apa-apa. Air matanya juga ikut jatuh melihat betapa rapuhnya laki-laki muda yang sudah lama dikenalnya.
Laki-laki itu segera menyeka air mata dari pipinya, kemudian mencoba sekuat mungkin untuk tersenyum cerah. Dirinya mulai beranjak dari kursi dan mengucapkan terima kasih kepada wanita separuh baya itu sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan di sebelah mereka.
Di dalam sana, seorang wanita tengah terbaring lemas di sebuah ranjang tinggi, dengan berbagai macam selang dan alat terpasang di tubuhnya. Wanita itu terlihat begitu pucat dan kurus, tapi kecantikan di wajahnya tidak pernah pudar. Bahkan senyumannya mengembang semakin lebar, walau terlihat lemah, ketika melihat laki-laki pendek itu kini sudah masuk ke dalam ruangannya.
"Hai Ibu," sapa laki-laki itu, memastikan bahwa otot bibirnya bekerja dengan baik membentuk sebuah senyuman yang meyakinkan.
"Woozi, kemarilah, Sayang," Wanita itu memanggil dengan suara paraunya, tapi masih terdengar menghangatkan.
Laki-laki itu berjalan mendekati Ibunya, langkah demi langkah. Mata sipitnya tidak bisa teralih dari sosok Ibunya yang terlihat begitu lemah, tapi masih bisa tersenyum hangat. Sampai pada akhirnya, ia menyentuh tangan Ibunya yang dipasangi selang, berubah suhu dari yang biasanya hangat—kini terasa dingin.
"Ibu, aku sudah di sini." ujarnya, ketika wanita itu hanya diam sambil memandanginya.
"Ibu tahu, Woozi. Ibu hanya ingin melihatmu lebih lama lagi."
Runtuh sudah pertahanan yang ia benteng, hanya dengan mendengar kalimat itu. Air mata terus keluar membanjiri pipinya dengan deras. Ia menggemgam tangan dingin Ibunya lebih erat dan mulai menundukkan kepalanya di bahu Ibunya untuk menangis. Isakan tangis laki-laki itu terdengar memilukan—siapapun akan merasa iba ketika mendengarnya.
"Jangan menangis, Sayang. Kau sudah berjanji tidak akan menangis, kan?" Wanita itu sekuat tenaga mengangkat sebelah tangannya untuk menepuk-nepuk bahu putranya yang terguncang hebat akibat isakannya yang semakin menjadi.
"Ibu, aku mohon... jangan tinggalkan aku sendiri di sini, hiks," ucap lelaki itu penuh permohonan.
"Kau tidak akan sendiri, Woozi. Kau punya banyak teman."
Laki-laki itu menggeleng di bahu Ibunya. "Lalu aku harus tinggal dengan siapa, Bu? Siapa yang akan memasak untukku? Siapa yang akan menyanyi denganku di festival nanti?"
Wanita itu tersenyum, tangannya mencoba mengangkat putranya dari bahunya, lalu menatap laki-laki yang masih menangis itu dalam. "Kau harus bisa mengurusi dirimu sendiri, Sayang. Dan untuk festival, ada yang menemanimu nanti. Ibu pastikan, nanti ada." ucapnya.
Laki-laki itu masih menangis mengeluarkan air matanya, walaupun isak tangisnya sudah tidak terdengar memilukan seperti sebelumnya.
Wanita yang menjadi Ibunya menarik nafas dalam. Senyumannya luntur, begitu pula tatapan hangatnya. Kini semuanya terganti dengan rasa bersalah. Amat bersalah.
"Woozi, mau 'kan memaafkan Ibu?" tanyanya.
Bocah pendek itu mengangkat kepalanya lalu menggeleng. "Ibu bicara apa? Aku yang selalu nakal dan tidak mematuhi perkataan Ibu. Kenapa Ibu yang meminta maaf?"
"Maafkan Ibu, Woozi. Tolong maafkan Ibu. Ibu telah melakukan kesalahan besar padamu." Suara lemah wanita itu bergetar menahan tangisnya yang juga akan pecah sebentar lagi. Putranya menggeleng cepat sebelum kembali menangis lagi di dalam pelukannya.
"Ibu tidak pernah salah. Ibu tidak pernah salah apa-apa,"
Nyatanya, Ibunya telah membuat sebuah kebohongan besar kepadanya selama lima belas tahun. Dan kebohongan itu selalu menghantui malam wanita itu, setiap kali putra kecilnya bertanya—seperti apa wajah Ayahnya yang tak pernah ia temui. Sang Ibu, yang telah memisahkan anaknya yang tidak bersalah untuk tidak pernah mengenal siapa Ayahnya.
"Woozi... Ibu... menyayangimu.."
Laki-laki itu sontak mengangkat kepalanya, ketika mendengar suara Ibunya yang terdengar kian melemah. Betapa terkejutnya dirinya saat ini, ketika melihat wanita yang paling ia sayangi di dunia, satu-satunya orang yang ia miliki, kini mencoba sekuat tenaga untuk tetap menjaga kedua matanya agar tetap terbuka, dengan deru nafas yang mulai kesulitan.
"Ibu!" Ia mengguncang bahu Ibunya pelan. Rasa takut yang amat besar melanda dirinya.
"Maaf... m-maafkan... Ibu..."
Suara monitor pendeteksi jantung terdengar nyaring lurus tanpa henti. Tangannya terus menggemgam erat tangan Ibunya yang jatuh lemah tak berdaya. Kedua mata yang selalu memancarkan cinta itu kini telah tertutup rapat. Dan deru nafas hangat itu berhenti seketika.
Dia menatap kejadian di depannya tak percaya. Ibunya kian tak kunjung membuka matanya lagi, atau hanya sekedar sedikit menggerakkan tangannya. Yang ia tahu—ia benar-benar kehilangan Ibunya untuk selamanya... detik itu juga.
"IBUUU!!!"
-:-:-
KAMU SEDANG MEMBACA
Woozi - The Rapper's Son
Fiksi PenggemarSelama lima belas tahun hidupnya, Jihoon hanya tahu dia memiliki satu orangtua-yaitu Ibunya, dan Ayahnya sudah meninggal semenjak ia masih bayi. Setidaknya itu yang Ibu ceritakan padanya. Ketika Ibu Jihoon meninggal, ia mulai mengetahui fakta bahwa...