Akhir masa SMA.
"Woi, balikin gak tuh buku gue! Sialan lo, Syad!" maki seorang cewek berseragam putih abu-abu di depan gerbang sekolahnya.
Hari itu seorang cowok bernama Arsyad—sahabatnya, berkata akan menjemputnya di sekolah. Namun, bukan membuat perdamaian dengannya, Arsyad justru mengerjainya dengan merebut buku Detik-Detik Ujian Nasional milik Liara—nama cewek berambut panjang itu, sambil membawanya lari menuju motor yang diparkir tak jauh dari muka gerbang sekolah Liara.
"Rakantara! Gue capek. Udah, dong," kata Liara dengan napas terputus-putus.
Rakantara adalah nama tengah cowok itu. Arsyad yang sejak tadi tertawa dan menjadi pusat perhatian beberapa murid yang lewat, berjalan ke arah Liara sambil mengulurkan tangan.
"Gue traktir nasi padang kesukaan lo."
Tawaran menggiurkan dari Arsyad berhasil membuat mata Liara terbuka lebar.
"Ayo!" seru cewek itu dengan bersemangat, seakan lupa rasa kesalnya pada Arsyad.
***
"Gue mau kuliah di Surabaya," kata Liara tiba-tiba.
Arsyad yang sibuk dengan sepiring nasi padang lengkap dengan rendang dan rempeyek udang mendadak beralih fokus pada Liara.
"Kenapa harus jauh?"
"Nyari suasana baru."
Liara menjawab sekenanya sambil terus memakan rendang di piringnya dengan semangat, seakan-akan besok, ia tak lagi berjumpa dengan makanan itu.
"Bukan lari dari masalah?"
Cewek itu mengangkat kedua bahunya. Ia meminum es jeruknya, sebelum kembali berbicara. "Kadang-kadang, manusia itu perlu lari dari masalah. Bukan karena pengecut, tapi karena nyari jawaban dari semua permasalahannya."
"Iya, gue tahu, tapi kenapa harus Surabaya? Di Bandung atau Bogor, kan, juga ada kampus bagus."
"Bukan masalah bagus enggaknya, tapi emang gue pengin pergi yang rada jauhan gitu, sih, sekalian. Haha ...."
"Lo ninggalin gue, dong?"
Liara berdecak menatap sebal ke arah Arsyad. "Lo, kan, punya pacar, temen lo juga banyak bukan gue doang. Lebay lo."
"Yang klop buat gue lo doang masalahnya."
Liara memutar kedua bola matanya, ia menatap malas pada Arsyad. "Mana bisa gue percaya?"
"Lah, lo kenapa enggak percaya?"
Liara tergelak, lalu meminum minumannya untuk mendorong nasi yang baru saja ia telan. "Sumpah, ya, percaya sama lo tuh ibarat gue percaya sama pejabat, bikin was-was. Haha ...."
"Sialan lo, sehina itukah gue?"
"Emang. Lo baru nyadar?"
Arsyad membuang napasnya, ia bersandar pada kursi kayu yang ia duduki. Memandang mata hazel green milik Liara. Teman barunya yang dikenalkan kakaknya beberapa waktu lalu. Liara anak yang asyik untuk diajak berbicara dan mampu memahaminya dengan baik.
"Lo, serius?"
"Gue enggak pernah seserius ini. Ya, mumpung Kak Lio udah keluar dari panti rehab dan orang tua gue udah cerai, why not?"
Liara tersenyum kecut. Teringat pada kakaknya yang menjadi pecandu narkoba karena tertekan dengan keadaan keluarganya yang bisa dibilang kurang harmonis.
"Gue bakal kuliah di Surabaya juga. Gue bakal jaga lo."
Liara melotot. "Jangan aneh-aneh, deh! Enggak lucu, Syad."
"Gue serius. Kapan gue becanda pas lagi genting kayak gini?"
"Lo pikir perang? Pake genting segala."
Arsyad tertawa, ia memandang Liara sekilas sebelum ponselnya berbunyi.
"Ya, Sayang? Aku lagi makan sama Liara."
Cowok itu menerima telepon dari Kara—pacarnya. Liara tersenyum tipis, kembali menikmati makan siangnya, mumpung gratis.
***
"Lusa tuh kita daftar ulang, mau bareng ke Surabaya?"
Liara menyandarkan tubuhnya di atas kursi. Ia sedang berada di rumah Arsyad, tepatnya di halaman samping rumah keluarga Arsyad. Kedua mata Liara melihat ke arah kolam renang yang tampak tenang, tidak beriak. Lalu menatap ke arah Arsyad lagi.
"Ya, gimana gue mau nolak orang lo kemarin udah booking tiket kereta ke sana. Rese tahu, enggak?"
Arsyad tertawa terbahak-bahak. Memang benar yang dikatakan oleh Liara, ia sudah memesan tiket kereta api ke Surabaya sejak beberapa hari yang lalu, untung Arsyad menyimpan foto copy KTP Liara.
"Ya, kan, sekalian, daripada lo enggak dapet tiket?"
"Naik pesawat, dong."
Arsyad menyentil dahi Liara hingga cewek itu mengaduh kesakitan. "Buset ni anak, boros lu. Naik kereta, dong, lebih enak."
"Lo ngatain gue boros? Mon maap, ya, moon maap, siapa yang kemarin beli jam sampai harganya sepuluh juta dan sepatu nike yang belum sampai? Siapa yang suka khilaf kalau buka Amazon?"
Arsyad meringis sambil menggaruk belakang kepalanya. Ia akan kalah lagi kalau berdebat dengan Liara, sahabatnya itu memang tahu semua rahasianya termasuk sifat boros Arsyad yang kadang-kadang menguras tabungannya sendiri.
"Ya, kan, khilaf gue, Ra. Lo ungkit terus, sih."
"Gue nyadarin doang, ya, Syad."
"Kagak usah lo sadarin udah nyadar gue."
"Males, ah, sama lo, udah gue mau balik."
Liara berdiri dari duduknya dan mengambil tas selempang yang tadi ia bawa. "Dodol, gue anter."
"Kagak usah, jangan keseringan nganter gue entar Kara cemburu. Males gue."
Arsyad melotot, ia buru-buru mengejar Liara yang sedang melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Dia ngapain lo? Lo dilabrak?"
"Menurut lo?"
"Kapan?"
"Udah, ah, enggak penting." Liara menepis tangan Arsyad, mencoba untuk menghindari cowok itu.
"Jangan bilang enggak penting. Lo penting buat gue."
"Gue cuma sahabat lo, kalau lo lupa."
"Enggak. Pokoknya lo penting buat gue. Lo tenang aja, entar gue ngomong sama Kara buat enggak gangguin lo."
Liara menghela napasnya. "Jangan bikin gue kayak orang yang mau ngerebut lo, dong, Syad. Gue enggak mau, ya, dicap perebut pacar orang."
Arsyad memandang dalam pada Liara, cowok itu lalu tersenyum tipis. "Lo bukan perebut, lo emang penting buat gue. Enggak usah khawatir, gue bakal ngomong sama Kara. Gue anter, ya?"
Liara menghela napasnya, Arsyad akan terus memaksa kalau tidak disetujui. "Ya, udah. Ayo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah ✔
RomanceArsyad, mahasiswa blangsakan yang hobi mendaki gunung dan menghabiskan jatah bolos kuliah, harus berhadapan dengan sahabatnya; Liara, si cewek sok ceria yang diam-diam menyimpan banyak rahasia dan suka melukai dirinya sendiri. *** Bertekad untuk men...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi