8; takdir

194 41 5
                                    

Anin dan Luke sama-sama menikmati menu makan malam mereka di pesawat. Keduanya tidak bersuara, pun sekadar melempar canda. Suasana hening dan entah mengapa dua insan itu menikmati atmosfer yang tercipta.

Hingga kegiatan mereka terhenti ketika ponsel milik Luke berdering. Laki-laki itu melihat nama yang tertera di layarnya sebelum memutuskan untuk mengangkatnya.

"Halo, Nenek."

Anin menoleh ke arah Luke. Pemuda itu terlihat lega sekali saat mendapat telfon dari neneknya. Bukannya bermaksud menguping, tetapi dengan jarak sedekat ini gadis itu bisa mendengar suara Luke yang menanyakan perihal bisnis restorannya dengan sang nenek.

"Luke udah makan kok, Nek. Jam sembilan sampai di bandara. Iya, Nek. Bye, love you." Luke mengakhiri panggilan dengan kembali meletakkan ponselnya di atas meja.

Pemuda itu melihat ke arah Anin yang sedang menatapnya juga.

"Kenapa?" tanya Luke.

Anin mengerutkan kening. "Kayaknya orang yang punya bisnis itu sibuk dan pusing banget, ya? Kedepannya juga lo harus mempertahankan restoran nenek lo biar tetep berjalan."

Luke terkekeh kecil. Gadis di sampingnya ini lucu juga kalau sedang berpikir agak serius. Kemudian ia teringat sesuatu.

"Eh, lo kuliah jurusan apa sih?"

Anin menusuk daging menggunakan garpu kemudian memasukkannya ke dalam mulut. "Pendidikan Bahasa Inggris."

"Lo mau jadi guru?"

Anin mengangguk. "Iya. Kenapa emang?"

"Apa motivasi lo jadi guru?"

Mata Anin menerawang ke atas, lantas secercah senyum bahagia tersemat di bibirnya. "Gue pingin kayak Papa. Beliau guru Sejarah. Waktu itu pernah gue diajak ke sekolahan tempat beliau mengajar. Disitu gue perhatiin Papa yang lagi nerangin materi. Cara Papa jelasin secara detil biar muridnya bisa mencerna, cara Papa dengan sabar jawab pertanyaan, cara Papa ngajak bercanda. Gue lihat Papa ngelakuin semua itu tuh tulus banget. Dari situ gue juga pingin membantu anak-anak di Indonesia."

Luke mengangguk paham. Namun seperti merasa belum puas, pemuda itu kembali bertanya, "Terus kenapa Bahasa Inggris? Kenapa gak Sejarah biar sama kayak Papa lo?"

"Jujur gue gak terlalu suka Sejarah hehe. Dari kecil gue sukanya Bahasa Inggris. Dan gue juga melihat kalau di masa depan nanti, Bahasa Inggris bakalan berguna banget. Terbukti dari banyaknya perusahaan di Indonesia dan di mana aja, sekarang butuh karyawan yang jago Bahasa Inggris. Itu aja sih," jelas Anin panjang lebar. Gadis itu merasa senang bisa menceritakan tentang dirinya sendiri.

"Cool." Luke mengacungkan kedua jempol tangannya di depan wajah Anin, membuat gadis itu tertawa.

"Mama gue juga guru."

"Oh, ya? Guru apa?" tanya Anin antusias.

"Matematika."

Raut wajah Anin seketika berubah masam. "Ugh, I hate Math."

"So do I."

"Bo'ong. Pasti lo pinter juga Matematikanya."

"Nilai paling rendah delapan puluh lima, sih," kata Luke entah bermaksud sombong atau tidak tetapi sukses membuat Anin melebarkan mata.

"Gila delapan puluh lima! Gue paling rendah empat puluh!"

Luke tertawa mendengar pengakuan Anin. Gadis itu pun ikut tertawa saat melihat Luke tertawa. Seperti ada magnet yang membuatnya ikut melakukan hal apapun yang pemuda itu lakukan.

"Eh, gimana kalau kita tukeran nomer telfon?" tanya Anin.

Luke menghentikan tawanya dan menatap Anin dengan sorot mata tajam, namun teduh. "Lo percaya takdir gak?"

"Kenapa?"

"Karena gue percaya. Gue gak akan minta nomer telfon lo karena gue percaya kalau suatu saat nanti kita akan bertemu lagi."

pesawat • lrh ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang