Part 4

35.6K 2.4K 253
                                    

Lima menit Zee mengetuk pintu apartemen milik Devan, tapi tidak ada jawaban. Benar kata orang yang kebetulan tadi bertemu dengan Zee di lobi, pria itu belum pulang sebelum jam 8 malam. Oh, apa yang harus Zee lakukan sekarang? Sementara sopir taksi itu selalu menguntit di belakangnya.

"Pak, calon suami saya belum pulang. Saya juga tidak membawa ponsel untuk menghubunginya. Apa Bapak bersedia menunggu sampai jam 8 malam?"

"Kau bercanda, Cantik? Aku juga harus mencari penumpang lain untuk mengejar setoran," kata-kata sopir taksi itu mulai bersikap melecehkan. "Lagipula kenapa kau tidak memilih opsi kedua saja? Kau tak perlu membayar ongkos taksi, dan aku juga akan memberikanmu uang sebagai bayarannya."

Zee memutar bola matanya, jengah. Pria tua ini benar-benar tidak bisa menjaga sopan santun. "Baiklah Pak, saya akan membayar Bapak satu juta untuk menunggu calon suami saya pulang. Tapi tolong jangan paksa saya untuk memilih opsi kedua dari Bapak."

Pria itu tertawa. "Oke, satu juta sampai calon suamimu pulang. Tapi ingat, jangan pernah main-main dengan saya. Dan sekarang kita bisa menunggu calon suamimu di lobi."

Entahlah, mungkin pria itu bukan keturunan manusia. Zee mengutuk dirinya sendiri, kenapa bisa dipertemukan dengan iblis seperti dia. Dan sekarang, lagi-lagi dia harus menunggu. Lebih lama dari yang tadi, minimal 5 jam sampai Devan pulang.

Zee duduk di kursi, di sudut terjauh dari tempat sopir taksi duduk mengawasinya. Menunggu Devan di lobi adalah keputusan yang tepat. Setidaknya, pria menyeramkan yang sedang menatap Zee dengan tatapan kelaparan itu tidak berani berbuat macam-macam. Ditatap seperti itu, sangat menjijikkan.

***

"Maaf Nona," seorang wanita mengguncang lengan Zee.

Zee tergagap. Ternyata dia ketiduran. Lagi. Mengenal Devan membuatnya mempunyai kebiasaan baru. Tertidur di sembarang tempat.

"Tadi Anda mengatakan mencari Pak Devan, dia baru saja naik lift," kata wanita itu lagi.

Zee tersenyum pada recepsionist apartemen itu, lalu tatapannya beralih ke sudut yang lain. Pria dengan seringaian yang menyeramkan itu ternyata sudah pindah ke kursi yang lebih dekat dengan Zee. Dia pasti tidak pernah berhenti menatap Zee selama gadis itu tertidur. Mengawasi dari jarak yang sangat dekat. Tiba-tiba dia merasa mual ditatap seperti itu.

"Calon suami saya sudah pulang. Bapak bisa menunggu di sini. Saya akan mengambil uangnya," kata Zee tanpa menatap pria itu.

Setelah keluar dari lift, Zee setengah berlari menuju kamar Devan. Mengetuknya dengan kasar, lebih tepatnya menggedor. Dia sudah tidak sabar untuk mendapatkan uang satu juta, dan terbebas dari cengkeraman seorang iblis. Itupun kalau Devan bersedia memberikannya!

"Kamu lagi?" Devan berteriak histeris saat menemukan gadis itu di depan kamarnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Apa yang kau lakukan di sini? Ya Tuhan, itukah sambutan yang Anda berikan pada gadis yang menunggu di lobi apartemen selama lima jam?" Zee menerobos masuk ke dalam sebelum Devan mempersilakan masuk. Peduli apa dengan segala macam sopan santun. Bukankah mengenal pria ini sudah membuat otak Zee sedikit bergeser?

"Lima jam? Untuk apa? Kau benar-benar gadis yang aneh," Devan tidak berhenti menatap Zee dengan kesal, melihat dia duduk dengan santai di sofa sebelum dipersilakan tuan rumah.

"Selamat malam."

Devan kembali dikagetkan dengan kehadiran seorang pria asing di depan pintu kamarnya. Dia menghampiri pria tua bertubuh besar itu.

"Saya ke sini hanya ingin menagih ongkos taksi," kata pria itu.

Devan semakin mengerutkan dahinya tidak mengerti. Ongkos taksi, bahkan ke mana-mana dia selalu membawa mobil sendiri. "Bapak salah orang, saya bahkan tidak pernah naik taksi."

The Second Mistake Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang