iv. coffee rush.

218 33 2
                                    

"Maaf, Tuan, seperti yang sudah kami umumkan tadi, seluruh jadwal penerbangan dengan terpaksa dibatalkan dikarenakan cuaca yang ekstrem sehingga tidak memungkinkan pesawat untuk mengudara sekarang." Ucap petugas bandara yang mengembalikan atensinya pada Mingyu setelah mengutak-atik komputernya sejenak, "waktu keberangkatan belum bisa dipastikan, kemungkinan terburuknya ditunda hingga besok akibat badai salju yang belum reda. Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini."

Mingyu mengangkat tangannya, terlihat hendak menyuarakan protes—tapi mengurungkan niatnya. Tidak ada gunanya juga ia mengeluarkan aspirasi itu sekarang, Mingyu tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah-ubah cuaca. Akhirnya ia hanya bisa melemparkan senyum hambar tipis saja pada laki-laki paruh baya di hadapannya ini sebelum menggumamkan terima kasih dan lekas beranjak dari tempat itu.

"Hah, aku paling malas jika hal ini sudah terjadi." Mingyu mengacak surainya, menghembuskan napas kesal kemudian berlalu di antara kerumunan penumpang-penumpang yang berjalan hilir mudik mengikuti arus.

.

"Mingyu! Bagaimana dengan penerbangan kita?" Jieqiong yang sedari tadi duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia langsung berdiri melihat Mingyu yang berjalan ke arahnya. Tanpa perlu disuruh, sang perempuan pun mendekatinya, melupakan koper mereka yang bertengger di sebelah tempat duduknya tadi.

"Penerbangan kita ditunda, kemungkinan hingga besok, Jie. Sepertinya kita tidak bisa pulang ke Seoul malam ini." Mingyu menggeleng dan sekali lagi menghela napas kecil, jarinya pun disisipkan di sela-sela rambut Jieqiong; menyisir pelan helaian kelam itu.

Lama Jieqiong terdiam sebelum memberi respon non verbal yang berupa anggukan kepala pasrah. Ia sudah menduga-duga sejak tadi karena sudah mendengar desas-desus bahwa penerbangan menuju Seoul akan ditunda hingga besok hari, tapi rasanya masih kecewa saja mendengar jika penundaan memang betul dilaksanakan. Jadwal mereka jadinya harus dirombak ulang semua.

Jieqiong mendesah pelan, tangannya meremas sedikit ujung baju hangat cokelat mudanya. "Yah ... Mau bagaimana lagi. Kita pun tidak bisa melakukan apa-apa karena badai salju yang tiba-tiba datang di Beijing ini."

Mingyu melunakkan pandangannya, kali ini ia menepuk pucuk kepala Jieqiong. Aneh baginya melihat perempuan yang biasanya selalu menyematkan senyum di bibirnya dengan energi positif menjadi tidak bersemangan seperti ini. "Hei, jangan murung begitu. Kita tidak akan melewatkan apa-apa disana. Teman-teman akan mengerti mengapa kita terlambat dalam jamuan makan malam."

"Kita tidak akan tahu kapan waktu berangkat yang pasti. Belum lagi makan malam yang mungkin akan terlewat dan janjimu mengajakku berkeliling di jalanan untuk melihat-lihat dekorasi musim dingin yang akan ditunda."

Ujung bibir Mingyu sedikit tertarik ke atas. Ia melihat Jieqiong mengerutkan dahinya sejenak dan kembali ke tempatnya semula, membiarkan perempuan bermarga (dahulunya) Zhou itu merutuk sendiri di tempat duduknya. Mingyu pun mengedarkan pandangannya ke daerah sekeliling; ada banyak kesibukan yang terjadi, orang-orang datang dan pergi silih berganti dengan tangan penuh yang menyeret koper ataupun memegang gelas kertas berisi minuman hangat milik mereka.

Mingyu menatap lamat-lamat. Sebuah ide kemudian muncul dalam benaknya.

Kopi di cuaca yang dingin adalah satu hal yang berkorelasi, 'kan?

.

"Jadi ini kencan di kafe bandara?"

Mingyu menyengir, dua gelas kopi dengan asap mengepul sudah ia letakkan di meja persegi itu; keduanya tidak memesan pastri sebab sudah makan malam sebelum ke sana. "Kau bisa menganggapnya begitu. Jaga-jaga jika acara kita batal besoknya." Jawabnya ringan.

Jieqiong memutar matanya—namun tidak bisa menyembunyikan senyuman geli dari pandangan Mingyu. Jieqiong sendiri sebenarnya tidak tahu pasti mereka mau kemana tadi.  Mingyu menggandeng tangan Jieqiong melewati barisan keramaian yang berlapis; satu tangan di pergelangan Jieqiong dan satunya lagi menenteng koper, ternyata membelah jalan menuju salah satu kafe yang ada di bandara, menawarinya untuk refreshing sebentar.

"Aku tidak memberikan pengecualian, lho. Aku tetap akan menagih janjimu nanti." Jieqiong menyesap sekali kopinya. Kafein memberi sedikit kejutan pada tubuhnya, walau hanya tidak seberapa banyak kadarnya yang ia konsumsi. Tubuhnya merasa hangat dibandingkan saat ia tadi di ruang tunggu; ada perapian kecil di sini, tidak heran lagi. Ia tadi telah melihat-lihat juga sebentar; Jieqiong suka dengan interior kafe yang klasik dengan beberapa lukisan menggantung pada dindingnya (—influensi dari desain Eropa?), ada juga alunan gesekan biola dari pojok yang memenuhi ruangan selain dari harum kopi dan manisnya potongan kue.

"Tenang saja, Tuan Putri, kau bisa mengelilingki kota denganku sepuasmu. Kalau kita sudah pulang nanti tentunya."

Mingyu menyeruput, namun mengernyit ketika panas menggigit lidahnya. Jieqiong mengendus melihat tingkah ceroboh sang suami yang kemudian nyaris menyenggol gelas kopinya sendiri.

"Hati-hati, dong. Kita tidak mau membuat keributan di sini."

Mingyu mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. "Kita tinggal kabur dan lari saja nanti."

Jieqiong mendelik. Ia sudah menahan dirinya dari tadi agar tidak menyentil jidat pemuda jangkung itu. "Jangan memberi ide yang aneh-aneh. Aku tidak mau berlarian menghindari kejaran petugas pengaman bandara."

"... Hei, kau membuatnya seperti kita ini adalah buronan hendak kabur ke negara lain, tahu? Ini hanya karena aku menyenggol segelas kopi dari meja."

"Dan siapa pun akan mencurigai orang yang kabur bak orang gila di bandara, Mingyu."

Mingyu terkekeh dan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Benar juga, orang-orang bisa salah sangka pada kita. Bukankan lucu nanti jika kita ternyata tampil di media negara asing dengan headline berita 'Dua Turis Asal Korea Selatan Penyebab Kericuhan di Bandara Internasional Beijing Hanya Karena Tumpahan Kopi'?"

Jieqiong menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap tajam. "Tidak lucu sama sekali."

"Menurutku lucu."

Jieqiong mencibir. "Selera humormu patut dipertanyakan."

"Jangan sarkatis begitu padaku, Jie." Mingyu cemberut, langsung saja ia membungkuk sedikit dan ternyata mencuri ide untuk menyentil dahi Jieqiong duluan. Sang perempuan pun mengaduh pelan.

"Hei!"

"Ya, ya, aku sayang padamu."

Memutuskan untuk tidak membalas kalimat terakhir (ataupun sentilan yang walaupun tidak kuat tetapi cukup membuatnya sebal), Jieqiong berdecak sebelum menopang dagunya, memandang lurus ke arah Mingyu. "Setelah ini apa?" Lirikan ia lempar pada gelas kopi yang sudah hampir habis. Mingyu menghidu sebentar miliknya, sebelum menandas habis semuanya dalam satu tegukan. Kopinya sudah tidak sepanas tadi. Mereka tidak bisa berada di sini terus. Masih ada penerbangan yang hendak dikejar esok. Setidaknya mereka harus menemukan tempat untuk bermalam di dekat sini.

"Hmm ... menunggu badainya reda?"

"Jadi kita berencana untuk tidur di ruang tunggu bandara dan kemudian membeku?"

Mingyu tertawa kecil. Deru salju yang turun di luar sudah hampir tidak terdengar lagi. "Baiklah, baiklah, Nyonya Kim. Kita akan mencari hotel terdekat untuk menginap semalam. Jangan bawel seperti ini lagi, ya. Senang berkencan denganmu hari ini."

Jieqiong kali ini memang tidak bisa menahan senyum kecilnya yang memaksa untuk timbul kembali. Sudah dari awal, tidak ada untungnya juga mendesak atau merasa sebal dengan keadaan yang ada. Tinggal mengikuti alurnya saja, sama seperti salju yang turun ditarik oleh gravitasi tanpa ada penolakan sedikit pun.

given home.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang