Buku-buku bersampul kulit itu masih saja terletak di atas meja tanpa tersentuh setelah seminggu penuh tidak dibuka oleh sang empunya. Diberikan oleh salah satu teman sekantornya sebagai ucapan terima kasih, buku salinan dari Res Publica yang ditulis oleh Plato serta literasi tebal lain yang tidak jauh membahas tentang ekonomi dan filsafat oral yang Jieqiong lihat hanya sekali terbuka pada saat Mingyu berupaya mengatasi fase dimana dirinya sulit untuk tidur (yang Jieqiong kira buku itu akan menjadi pajangan saja, namun ternyata ampuh untuk membuat sang pemuda terlelap dengan bab-bab berat mengenai satuan somatik polis dan orang-orang Hellenes ataupun pada bagian gagasan Agathon).
Fase itu memang sering terjadi ketika Mingyu dilanda pekerjaan kantor yang menumpuk sehingga dimana puncak dirinya kelelahan adalah saat dirinya hendak tidur, belum lagi ditambah dengan pikiran yang membebani serta tugas yang memaksanya untuk terus lembur. Sudah lama sejak Mingyu membaca halaman demi halaman buku itu dengan khusuk untuk mengobati susah tidurnya. Ternyata memang ada waktunya buku tersebut bisa berguna bagi Mingyu yang tak pernah menaruh minat dalam dunia literasi seperti ini.
Jieqiong menghela napas sebelum beranjak untuk membenahi tumpukan buku-buku itu. Ia perlahan mulai menyortirnya sesuai urutan abjad, menumpuk buku yang tebalnya hampir tiga inci menjadi satu dan membawanya keluar untuk diletakkan di rak buku ruang tengah. Buku-buku tersebut sudah lama mengambil banyak tempat di kamar mereka dan ia akan mencarikan ruang baru untuk menyimpannya.
Jieqiong pun pergi keluar kamar dengan tangan yang jauh dari kata kosong, memasukki ruang tengah yang lampunya masih menyala bahkan sejak dua jam yang lalu—ketika ia membenahi rumah dini berpamitan ke dalam kamar tidur untuk beristirahat. Tapi, percuma juga, Jieqiong sendiri bahkan tidak mengantuk walau jarum jam sekarang telah menunjukkan angka dua belas tepat di kedua jarumnya.
Satu helaan napas lagi lolos dari dirinya. Jieqiong yang telah meletakkan buku-buku itu mematri pandangannya pada Mingyu yang berada di meja ruang tengah, sama sekali belum bergeming sejak terakhir kali ia lihat dengan tumpukan berkas-berkas dan surat yang bertumpuk di hadapannya.
"Mingyu."
Meski tidak ada balasan verbal yang mengikuti, Jieqiong mulai beringsut dari rak buku menuju ke arah Mingyu, menarik kursi yang berada di sebelahnya hingga menimbulkan bunyi derit yang kentara dan mengklaim langsung tempat kosong di sebelah sang suami. Mingyu yang tengah memijat pelipisnya kemudian memandang Jieqiong dengan tatapan sayu, berusaha memaksa untuk sebuah senyuman tertarik di ujung bibirnya.
"Jie." Tidak butuh waktu lama bagi Mingyu untuk kembali berkutat pada pekerjaannya. Masih banyak berkas dan surat yang harus ia tanda tangani, belum lagi laporan tentang alokasi budget perusahaan yang mesti diperiksa. Sayang sekali semua harus ia selesaikan untuk besok sebelum ia memulai rapat di kantor lagi.
Mingyu rasa sepertinya ia sudah banyak sekali membaca tumpukan kertas dan berkas sehingga yang sekarang ia lihat hanyalah paragraf yang berisi susunan garis-garis lurus saja. Sudah terlalu banyak beban yang ia pikul akhir-akhir ini, sudah begitu menumpuk informasi-informasi yang masuk dalam kepalanya menunggu untuk diproses satu per satu dalam jangka waktu yang singkat. Mingyu rasa telah cukup lama ia bertapa di meja ruang tengah ataupun meja kantornya sepanjang hari; menjadikan tidur (atau istirahat cukup, yang mana sajalah) adalah sumber air pada oase yang selalu didambakannya.
"Kau masih bisa melanjutkan ini?"
Mingyu mengambil kertas yang lain, penanya masih menari di udara. Kepalanya pun bergerak, entah mengangguk ataupun malah melantur dengan pikiran yang melanglang buana akibat kantuk dan lelah yang menjangkitinya. Ia hanya bisa bergumam tak jelas.
"... Sedikit lagi. Dan aku rasa aku bisa menjadikan tumpukan kertas ini sebagai bantal tidur."
Jieqiong tak bisa menahan senyum kecil untuk tersemat pada bibirnya. Walau begitu, ia merasa cukup simpati terhadap keadaan Mingyu yang kelelahan akibat diperbudak lembaran-lembaran tersebut; tak pelak lagi ada rasa bersalah berkocol dalam benaknya dikala ia tidak tahu menahu untuk melakukan apa di saat seperti ini. Maka, Jieqiong berdiri lagi, kali ini ia pergi menuju dapur, berkutat di dalam sama selama beberapa menit ke depan.
Kurang lebih lima belas menit berlalu dan ketika Mingyu hendak memanggilnya akibat kehilangan presensi sang wanita secara mendadak—karena Mingyu rasa ia baru saja melihat kertas sejenak dan pada saat berpaling, Jieqiong sudah tidak ada—dan ternyata ia kembali dari sana bersama dua gelas cangkir di kedua tangannya.
"Tidak ada salahnya untuk jamuan teh tengah malam, bukan?" Tawar Jieqiong dengan tawa halus yang berdenting; cangkir-cangkir itu diletakkan di atas meja dan ia menarik kursi lagi untuk duduk di tempatnya semula.
Mingyu mengusap keningnya dan mengerjapkan mata saat menatap Jieqiong. Ia mengambil cangkirnya dengan ragu sambil terus memandangi Jieqiong yang bertopang dagu seraya membalas pandangannya juga. Dan Mingyu menempelkan bibir ke ujung cangkir; panasnya tidak terlalu kentara, aroma teh yang bercampur harum manisnya madu menyeruak ke indra penciumannya ketika Mingyu menyesap teh hangat itu.
"Bagaimana? Aku harap rasanya tidak aneh, soalnya aku lupa ukuran takaran madu yang pas seberapa banyak." Jieqiong menunggu sang pemuda selesai menegak tehnya, dibiarkan hingga selesai ia meletakkan cangkir itu kembali ke meja.
Kehangatan mulai menjalari Mingyu dari dalam perlahan, dipadu dengan rasa manis yang cukup membuat kepalanya menjadi lebih ringan daripada sebelumnya. Tidak pernah ia tahu jika teh di tengah malam lebih banyak membantunya untuk mengurangi beban kasat matanya dibandingkan kopi yang hanya menstimulasi dirinya untuk terus bekerja tapi dengan pikiran kusut. Mingyu pun menyeruput tehnya dengan raut wajah yang lebih cerah, sedikit demi sedikit sambil mengamati wajah Jieqiong dengan tenang.
Jieqiong mengangkat pandangannya, melihat cairan pekat dalam cangkir Mingyu yang semulanya penuh tinggal seperempat bagian saja lagi ketika ia meletakkannya kembali ke meja.
"Tidak terlalu manis, kok. Aku suka."
Kali ini senyum lebar mengembang di wajah Jieqiong yang sedari tadi mengetuk-ngetukkan jarinya di atas salah satu laporan milik Mingyu. Cangkir yang satunya lagi sama sekali belum tersentuh oleh wanita itu, hampir mendingin tehnya malah; namun, Jieqiong tidak peduli. Ia lebih memilih untuk menjatuhkan atensi penuhnya pada Mingyu.
"Baguslah. Setelah minum teh, kau bisa pergi tidur."
Mingyu mengerutkan keningnya. "Tapi, kerjaanku belum selesai."
Jieqiong menggeleng dan tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Pekerjaan yang menggunung itu mau tidak mau harus menunggu. Mingyu sudah menghabiskan harinya untuk bekerja keras (sangat keras, malah) dan tidur yang cukup adalah balasan yang setimpal untuk itu.
"Jangan ajak aku menghabiskan waktu untuk berdebat denganmu tentang ini."
"Tapi, Kim Jieqiong, aku tidak suka menunda-nunda tugas yang belum rampung."
Kali ini Jieqiong lagi-lagi bergerak, menggeser tempat duduknya sehingga tidak ada jarak lagi yang tersisa di antara mereka. Mingyu nyaris saja terkejut ketika perempuan itu memutar tubuh jangkungnya; meletakkan tangannya di salah satu bahu dan kemudian mencuri salah satu kecupan di ujung bibirnya, cukup untuk membuat Mingyu mendapat serangan jantung kecil meski hal ini mestinya tidak lagi menjadi sesuatu yang canggung bagi mereka. Mendadak, ia melupakan pekerjaannya dan dua cangkir teh madu mereka.
"Aku tidak akan menerima bantahan lagi, Tuan. Habiskan tehmu dan pergilah tidur. Aku akan membereskan sisanya."
Jika sudah seperti ini, Mingyu tahu ia mana bisa melawan Jieqiong yang memiliki kontrol tersendiri terhadap dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
given home.
Fiksi Penggemar[kompilasi dari cerita pendek] ❝ jieqiong selalu memberi tempat untuk berpulang pada mingyu. ❞