Tiga

140 14 3
                                    


Hari ini, Syaqira sudah bersiap-siap untuk berangkat pagi, karena di sekolahnya sudah mulai diadakan jam tambahan. Malas? Tentunya. Syaqira sangat malas, apalagi jika sudah bertemu dengan rumus-rumus fisika yang sebenarnya ia tak suka. Awalnya, Syaqira ingin mengambil jurusan IPS, namun niatnya dia urungkan karena Dinda memilih jurusan IPA, dan ... karena Zaidan juga memilih jurusan itu.

Ah, cowok itu. Tak terasa, sudut bibir Syaqira melengkung ke atas ketika membayangkan lelaki itu. Risma yang tengah membuat teh tersenyum simpul melihat Syaqira. Tentu saja, Risma tahu jika Syaqira tengah memikirkan seorang lelaki.

"Hayo ... mikirin apa?" goda Risma.

Pikiran Syaqira pun terhenti, lantas menengok ke arah ibunya. "Ih, apaan sih, Bu."

"Cowok, kan? Udah jangan di terusin mikirinnya, dosa lho. Mendingan sekarang kamu banyakin istighfar sama nginget Allah aja." jelas Risma.

"Ibu sotoy banget sih. Udahlah, Syaqira mau nunggu diluar." ujar Syaqira kemudian berjalan ke luar rumah, seperti biasanya, tanpa mencium punggung tangan Risma.

Risma yang nelihat perilaku Syaqira itu tersenyum tipis. Putrinya itu ternyata memang sudah dewasa. Ia menjadi bingung, jika putrinya kuliah nanti, siapa yang akan membiayai? Jika mengambil beasiswa, ia tak yakin bahwa putrinya itu bisa mendapat nilai sempurna bila dilihat dari sikapnya ketika belajar. Risma menggelengkan kepalanya. Ia harus berpikir positif. Rencana Allah pasti lebih baik dari apa pun.

Syaqira yang sedari tadi duduk diluar itu masih saja menunggu Dinda. Dimana kawannya itu? Tak biasanya Dinda datang terlambat. Syaqira pun akhirnya memutuskan untuk menghampiri Dinda di rumahnya.

Belum setengah perjalanan, Syaqira melihat Dinda datang ke arahnya. "Ayo naik. Bisa gawat kalau sampai kita telat." ujar Dinda dengan terburu-buru.

Syaqira hanya mengangguk setuju lantas buru-buru menaiki motor Dinda. "Kamu yang telat, tap-"

Jantung Syaqira melengos kencang. Ucapannya terhenti begitu saja ketika Dinda tiba-tiba mengebut. Syaqira spontan memukul bahu Dinda. Dinda yang merasakan Syaqira memukul bahunya tentu saja tidak terima. Gadis itu mulai merendahkan kecepatan.

"Eh, eh! Ngapain mukul?" tanya Dinda bingung sambil fokus pada jalanan di depannya.

"Jangan ngebut, lah! Kaget, tauk."

"Woy! Kamu nggak lihat ini jam berapa?" cecar Dinda lalu mulai kembali menjalankan motor dengan kecepatan tinggi, tidak mempedulikan Syaqira yang memprotes di belakangnya.

Sesampainya di sekolah, Syaqira merengut kesal, berbeda dengan Dinda yang malah menghembuskan napasnya lega karena tidak terlambat. Dihiraukannya Syaqira, lalu gadis itu mulai masuk ke kelas, mengikuti jam tambahan yang memang dilakukan pada pagi hari.

Brum ... Brum ...

Suara motor berhenti begitu saja di dekat Syaqira, membuat gadis itu menengok ke arahnya. Yap! Ternyata Zaidan. Syaqira menyesal telah menengok ke arahnya. Dilihatnya cowok itu membuang wajahnya dari hadapan Syaqira, lalu pergi begitu saja.

"Dasar, cowok aneh! Sok alim banget, sih!" gumam Syaqira lalu mulai mengejar Dinda yang hampir tidak terlihat.

▪■▪

Seperti biasanya, Syaqira sudah selesai sholat ashar, sedangkan Dinda belum. Sembari menunggu Dinda, gadis itu pun berjalan ke arah taman sekolah. Memilih untuk menikmati semilir angin sore ditengah teriknya matahari.

Pikirannya teruju pada Zaidan. Akhir-akhir ini, Syaqira sering membayangkan tentang cowok itu. Setelah Dinda selesai sholat nanti, Syaqira berencana akan menanyakan pertanyaannya kemarin yang belum sempat Dinda jawab.

TAATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang