Empat Belas

55 6 0
                                    

"Wah, gue baru tau kalau ternyata Syaqira itu cucu dari pemilik Pesantren Al-Hikmah." cerocos Abduh kepada Zaidan yang hanya membalas dengan anggukan.

"Dia bakal satu pesantren sama kita, lagi! Aneh nggak, sih, menurut lo?" tanya Abduh, masih membahas topik yang sama.

Zaidan menatap Abduh bingung. "Aneh kenapa?"

Abduh menyipitkan matanya lalu berpikir. "Ya ... aneh aja sih, cewek yang sering diolok-olok cabe ngelanjut ke pesantren, apalagi sekarang pakaiannya syari."

Zaidan menatap Abduh tak suka. "Makanya jangan nilai seseorang dari omongan orang. Suuzan mulu sih, lo!"

"Yee, santai kali, siapa juga yang suuzan? Gue juga dulu kasian kalau lihat dia diolok, digosipin yang aneh-aneh, tapi sebelumnya, dia emang rada cabe, kan?"

"Astaghfirullah, ghibah, Ab. Istighfar lo." balas Zaidan sebelum memilih untuk keluar daripada meladeni sepupunya itu.

Zaidan berdiri di balkon kamarnya, ia memang sudah pulang dari pesantren sejak tadi malam. Sekarang, yang harus ia lakukan adalah memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin sebelum ke pesantren. Terutama bersama keluarganya. Masih ada waktu 2 bulan sebelum dirinya benar-benar meninggalkan rumah.

Pikiran Zaidan tertuju pada satu orang. Gadis yang ia sukai sejak awal masuk SMA. Seseorang yang mungkin telah ia cintai dalam diam. Dan entah kenapa, sudut bibirnya tiba-tiba tertarik ke atas.

"Heh!" Abduh yang ternyata mengikuti Zaidan ke balkon memukul bahu sepupunya itu. "Mikirin sapa, lo?"

Zaidan tiba-tiba menjadi gagap. "Hah? Eh ... ap ... apaan, sih, lo? Sapa yang mikirin sapa coba?"

Abduh menyeringai. "Cewek, nih, pasti. Udah jelas."

Zaidan mengedikkan bahunya.

Abduh tersenyum dan menatap ke arah depan, dimana menampilkan halaman rumah Zaidan. Ia memang sedang berada di rumah sepupunya itu. Sekaligus untuk menjenguk nenek mereka yang memang tinggal di rumah Zaidan.

"Hati-hati, Dan, setan itu punya banyak cara buat nyesatin keturunan Adam. Bisa jadi yang lo lakuin itu salah satu cara setan buat nyesatin lo. Wajar, sih, kalau suka sama orang bakal kepikir terus. Tapi hati-hati, lo bisa berlarut-larut mikirin dia dan terjebak sama yang namanya zi.na pi.ki.ran, dan bisa bikin lo tergerak buat ngelakuin per.zi.na.an." tegas Abduh kemudian meninggalkan Zaidan yang setelahnya memperbanyak mengucapkan 'Astaghfirullahaladzim.' Hanya karena satu perempuan yang ia pikirkan, ia dengan tidak sengaja melupakan janji yang ia buat dengan kedua orangtuanya.

▪■▪

"Akhirnya sampai juga." ujar Syaqira begitu mereka sampai di rumah. Ya, rumah mereka di kota. Mereka memang mempercepat pulang ke kota, karena Risma harus mengurus pesanannya yang alhamdulillah, sedang cukup banyak.

"Iya, alhamdulillah." Risma menimpali.

Syaqira meletakkan barang-barangnya di kamar. Lalu menemui ibunya yang sedang berbaring di sofa depan televisi. "Bu, Ara izin ke rumah Dinda, ya." Syaqira kemudian mengulurkan tangannya, hendak mencium punggung tangan ibunya.

"Dindanya nggak liburan?" tanya Risma kemudian membalas uluran tangan Syaqira. Diciumnya punggung tangan Risma oleh Syaqira.

"Enggak, kok. Ya udah, Bu, Assalamualaikum."

Risma mengangguk. "Waalaikumsalam."

Syaqira memakai sepatu sandalnya, lantas mulai berjalan ke rumah Dinda. Dinda yang sudah duduk di depan teras rumahnya langsung menghampiri Syaqira dan menyuruh sahabatnya itu masuk ke dalam. Sunyi menyambut Syaqira begitu ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah Dinda.

TAATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang