Sepuluh

109 6 5
                                    

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Perumpamaan shalat lima waktu itu seperti sungai yang penuh air mengalir pada pintu salah seorang di antara kamu sekalian, di mana ia mandi dari sungai itu lima kali sehari."
(HR. Muslim)

□ □ □

Ketukan di pintu kamar Syaqira mulai mengusik kenyamanan gadis yang sedang tidur itu. Bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, orang yang mengetuk pintu tersebut sudah memutar knop dan masuk ke dalam kamar. Ia lantas menyalakan lampu agar gadis itu bisa cepat bangun.

Adzan subuh sedang berkumandang. Terdengar suara 'Ash-Sholatu Khairum minan Naum'  dari masjid di luar sana. Selepas mematikan lampu, ia beralih mematikan kipas angin yang mungkin sudah berputar selama 7 jam lebih demi kenyamanan sang empunya kamar sewaktu tidur. Kemudian, ia mendekati cucunya yang masih meringkuk di atas kasurnya.

"Bangun, Ra. Sudah subuh."

Syaqira menggerakkan kakinya, malas untuk membuka mata. "Iya ... bentar lagi ..."

"Sekarang ..., kalau nanti kamu nggak dapet 27 derajat, lho." ujarnya lagi.

Ia mengembuskan napas pelan, mulai kesal dengan perlakuan neneknya, "Nanti, Yang, baru adzan juga."

"Hus! Jangan ikutin setan, ah! Ayo wudhu sekarang!" tegas Aminah, dan tanpa aba-aba lagi, ia menarik tangan cucunya itu hingga bangun.

"Eyang ..." keluh Syaqira.

Aminah mulai kesusahan menghadapi cucunya itu, "Masya Allah! Eyang ini sudah tua, ayo bangun sendiri!"

Dengan rasa malas yang memuncak, Syaqira membuka matanya dan berjalan keluar kamar, menuju kamar mandi untuk berwudhu. Selepas wudhu, Syaqira mulai berjalan menuju tempat sholat. Mukenanya sudah tertata rapi diatas sajadah, sedangkan ibu dan neneknya sedang khusyuk melakukan sholat, yang spontan mengingatkan Syaqira dengan sholat fajar. Sholat dua rakaat yang lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.

"Dua rakaat fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya." (HR. Muslim no. 725).

Syaqira dengan cepat memakai mukenanya dan melaksanakan sholat sunnah dua rakaat itu.

▪■▪

Suasana di ruang makan kali ini cukup ramai. Setelah kekenyangan menyambut mereka, kini masing-masing pita suara mereka mengeluarkan suara yang membahas tentang kepulangan Utsman dan Aminah sore nanti. Ya, mereka akan pulang ke desa, bagaimanapun juga, mereka tak boleh berlama-lama meninggalkan pesantren. Sekarang sedang musim kelulusan. Banyak yang harus mereka urus mengenai pendaftaran santri baru.

"Ara, kapan kamu selesai ujian nasional?" tanya Utsman yang baru saja selesai makan.

Syaqira yang sudah selesai sejak tadi mulai mengingat, "Kira-kira satu bulanan lagi, Yang. Kenapa?"

Utsman menggelengkan kepalanya sembari memikirkan sesuatu, "Tidak, kalau sudah selesai ujian nasional kabari eyang, ya. Insya Allah kami akan berkunjung ketika kamu sudah lulus."

Syaqira tersenyum, "Iya, Yang." 

"Ra, nanti kamu pertimbangkan lagi keputusanmu, ya." ujar Aminah sebelum bangkit dari tempat duduk untuk membawa piring yang baru saja digunakan sehabis makan ke dapur.

Syaqira menghela napasnya, mencoba untuk kembali tersenyum walaupun sebenarnya enggan.

Risma menatap putrinya yang ternyata sudah benar-benar dewasa itu. Keadaan sudah lebih baik daripada sebelumnya. Kini, mereka bisa lebih menghargai satu sama lain sebagai anggota keluarga. Bekas luka di masa lalu memang belum sepenuhnya hilang, dan masih perlu perjuangan untuk menghilangkannya.

TAATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang