BAB 2

23 2 0
                                    

Jemari Alanis mengetuk pintu ruang latihan saxsophone. Menunggu cukup lama. Tidak ada jawaban. Dan sekali lagi mengulangi ketukan.
Menurut pengamatan Kenzie, Darrel berada di ruang tertentu pada hari tertentu. Setelah kampus sepi. Di beberapa ruang latihan major yang diambilnya. Saxsophone, flute, dan piano. Dan karena hari ini hari Rabu, kemungkinan besar di sinilah Darrel berada sekarang.

Dari ruang di mana Darrel berada, selalu terdengar alunan music unik dan indah. Ia bermain pada tempo di atas seratus lima puluh dengan kekuatan seperenambelas. Maka sebenarnya tidak terlalu sulit menemukannya. Walaupun sejujurnya Alanis tidak mendengarkan apapun sejak berdiri di depan ruangan ini. Tapi, percaya pada Kenzie adalah satu-satunya pilihan terbaik.
Alanis mengulangi ketukannnya lagi sampai terdengar perintah masuk. Kenzie membantu Alanis membuka pintu. Ia member semangat

“Tenang. Setelah ini pasti masalahmu selesai.” Dengan senyuman lebar.

Alanis mengangguk. Ia tidak tahu apa yang membuat kenzie mengatakan itu. Tapi, keraguan apapun tidak akan membantunya sekarang. Alanis hanya perlu mempercayai hal yang positif.
Alanis melangkah masuk dan sejenak ia merasakan buta. Ruangan besar itu sangat gelap. Hanya ada lampu senter kecil yang dijepitkan pada stand partitur. Senter itu menyala pada jarak lebih dari sepulu meter di depannya. Sosok yang duduk di depan stand itupun menjadi samar.
Alanis mengerjap dan membiasakan diri dengan situasi ruangan. Jemarinya meraba, mencari tomnbol lampu di tembok dekat pintu yang telah tertutup. Tapi ia tidak menemukannya.

“Aku tidak suka berlatih di tempat yang terang.”

Ketika suara serak basah itu merambat ke udara dan menggapai telinga Alanis, gadis itu kembali kehilangan keseimbangan.

OH GOSH!

Darrel mengetuk stand partitur dengan telunjuknya. Ia memainkan irama dalam kepalanya. Jemari yang lainnya menyambar pensil dan melukiskannya pada garis-garis birama. Kemudian, ia mendengar ketukan lain. Ketukan yang merusak tempo dan konsentrasinya.

Ia berhenti dan membuka mata. Niatnya mengabaikan ketukan itu musnah. Sepertinya seseorang memang berniat mengusiknya. Akhirnya ia mempersilahkan tamu itu masuk.

“Aku tidak suka berlatih di tempat yang terang.” Jawab Darrel memperingatkan ketika pintu kembali tertutup.
Ia tahu siapapun yang masuk akan berusaha mencari cahaya.

“Kau masuk karena tidak tahu, apa memang sedang mencariku?” tanyanya tajam.

Tidak ada jawaban. Cukup lama dan laki-laki itu mulai terusik. Ia mengangkat wajah dari deretan not balok dan melihat kea rah pintu masuk.

“Kau ingin memakai ruangan ini?” tanyannya lagi kali ini lebih sopan.

“Mmm, aku….”

Suara lembut itu langsung dikenali Darrel dengan sangat baik. Ia spontan melepas lampu senter di hadapannya dan menyorot kearah pintu masuk. Saat itulah bayangan seorang gadis bertubuh cukup tinggi, berambut panjang bergelombang, dan dengan bahasa tubuh yang mulai dikenalinya terlihat olehnya.

“Alanis?” tanyannya memastikan.

“Iya, ini aku. Mmm, Darrel…” suara gadis itu bergetar.

Darrel merasakan desiran aneh meliwati seluruh pembuluh daranya ketika gadis itu menyebut namanya. Ini kali pertama ia mendengar namanya disebut dengan cara seperti itu. Atau, mungkin karena suara gadis itu terdengar sangat mirip dengan suara sosok yang dirindukannya. Darrel memasang kembali senter itu, meletakkan saxsophone-nya, lalu berdiri.
            
“Kemari. Ikuti arah suaraku,” Ucapnya tegas. Namun, ketika gadis itu belum juga bergerak, ia menambahkan dengan lebih lembut,
"Atau itu menyulitkanmu?”
            
“Tidak,” tukasnya cepat.

“Aku hanya sedang berusaha melihatmu lebih jelas.” Kemudian gadis itu bergerak perlahan namun pasti,mendekatinya.
            
Darrel merasakan hembusan angin membawa aroma tubuh gadis itu.manis dan hangat. Seperti opium dan red wine. Campuran yang membuatnya seakan melayang. Mengacaukan pengendalian dirinya.
           
Cara gadis itu berjalan, membuat Darrel merasa sedang menatap bocah.Terlalu sederhana. Spontan dan sepertinya menyenangkan berada di sekitarnya. Tapi, salah sedikit saja, kau akan selamanya berada dalam daftar hitam.

Gadis itu berhenti pada jarak satu meter. Ia berkeras untuk berdiri dalam kegelapan. Namun kini Darrel bisa melihat sosoknya dengan jelas. Darrel mengamati wajah Alanis satu persatu. Sorot mata pucat, hidung mancung, tulang pipi yang lembut, bibir merah muda, semuanya.

Damn it!

“Kalau begitu, kau memang mencariku. Ada apa?” Tanya Darrel dengan nada rendah.
Ia menghilangkan tekanan sebelumnya.
Alanis menunduk

“Kemarin, kau berkata-“ Ia terbata-bata “-bahwa…”

“Aku menginginkanmu” ulang Darrel.

Ia mengucapkan setiap kata dengan kesungguhan yang aneh. Keseriusan yang membuat gadis itu tercekat. Alanis mundur selangkah

“Kenapa bicara brgitu? Aku bukan barang.”

“Hmm. Asal kau tahu, aku tidak bicara pada barang.” Rasa humor mulai muncul di benaknya.

Niat Darrel untuk mengerjai dan menahan gadis itu lebih lama semakin besar dan menguasainya.

“Jadi apa tujuanmu kemari?”
Gadis itu meremas pergelangan tangannya sendiri.

“Kemarin, kau berjanji-“

Ahh, akhirnya Darrel tahu apa tujuannya kemari.

“Aku berjanji untuk melindungimu. Kau hanya harus memintanya.” Alanis mengangguk.

Rambutnya yang hitam, jatuh menyentuh bahu dan bergoyang seirama dengan tubunya. Membuat Darrel merasakan hawa panas merambati tenggorokannya.

“Apakah masih berlaku?’
Darrel tersenyum kecil.

“Tentu.” Lalu sebuah ide nakal sialnya melintas di otaknya.

“Hanya saja peraturannya sedikit diubah.”

“Peraturan?”

Darrel menunduk agar senyuman di bibirnya tidak tampak terlalu jelas. Ia membuka kelopak mata lebar dan menatap gadis itu dengan alis terangkat

“Hanya orang yang berada dalam jarak lenganku yang dapat kulindungi. Tapi, kemarin kau menolakku. Itu jelas membuatku tersinggung.” Darrel mendekati Alanis yang mundur dengan langkah berderap dan limbung.

Ia mendekatkan wajahnya pada gadis itu. Sangat dekat hingga sedikit saja gerakan akan membuat mereka bersentuhan.

Darrel merasakan wajah gadis itu berubah semakin pucat dan sepertinya akan pingsan jika lebih lama lagi.

“Jadi, kuputuskan kau… boleh menjadi pesuruhku.”

Gadis itu spontan mendongak dan membuat jarak di antara mereka hamper menghilang. Darrel menarik sudut bibirnya dan tersenyum penuh kemenangan. Ia menatap Alanis dengan sorot tenang. Tidak berniat mengubah posisi. Melihat gadis itu berulang kali hampir membuka mulut, lalu membatalkannya, membuat Darrel menggertak gerahamnya untuk tidak tertawa.

Darrel tidak sabar menunggu reaksi gadis itu. Ia ingin tahu bagaimana caranya kabur kali ini. Kemarin, gadis itu pura-pura pingsan dalam pelukannya. Lalu, kali ini?

“Kau diam. Ku anggap kita sepakat.” Ucap Darrel masih pada jarak yang sama, namun nada suara yang pelan, lembut, dan menekan.

Alanis tergagap. Ia menunduk lagi dan mundur selangkah.

“Selain pesuruh, tidak ada pilihan lain?”

Darrel tidak bisa lagi mengendalikan tawannya. Ia memalingkan wajah dan berbalik kembali pada kursinya.

“Aku tidak suka ditawar. Just take it, or leave it.

Darrel memangku kembali saxophone-nya. Matanya terpejam dan telah siap tenggelam bersama musiknya.

“Baik. Aku terima. Jadi, apa yang harus kulakukan?” Darrel tersenyum puas di balik alat music berwarna emas itu.

“Untuk sekarang, kau boleh pergi. Mulai besok…,” Ia menutup mata.
“…beradalah di dekatku.”

My Opium GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang