BAB 1

65 2 2
                                    

Alanis meletakkan nampan makan siang yang sejak tadi dibawanya berputar ke sana-kemari. Ia akhirnya berhasil mendapatkan tempat kosong setelah sepuluh menit mencari. Tas punggunya terasa sangat berat hari ini. Ia melepas dan meletakkannya di samping. Tangan kanannya bergerak mengambil botol air mineral dan segera meneguk setengah isinya.

“HEI!” seseorang berteriak sangat dekat dengan telinganya, membuat gadis itu memejamkan mata rapat.

“Makan siang disini juga?”

Alanis mengenali suaranya. Hanya suara itu yang di dengarnya berulang kali tiga hari belakangan. Ia kembali aman mengucapkan kalimat sisanya di ruangan ini.

Kenzie menatap Alanis penasaran. Dengan bola mata yang bulat dan hitam di balik kacamata tebal berbingkai hitam. Ia memancarkan pandangan polos yang membuat orang tidak tega berbuat jahat. Atau mungkin sebaliknya. Kenzie masih menunggu penyelesaian kalimat Alanis.

“…mmm, kau tahu? Menghilang?,” pungkas Alanis akhirnya.

Baru setelah itu Kenzie mengangguk mengerti. Ia mengalikan tatapannya dan duduk di samping Alanis setelah gadis itu memindahkan tasnya.

“Mereka belum berhenti? Ini sudah hari ketigamu di kampus ini.”

“Aku tahu.” Alanis tidak mempunyai kekuatan untuk berdebat. Terlebih membahas topik yang membawa mimpi buruk dalam tidurnya.

Ia mengangkat sendok dan mengambil nasi banyak-banyak, lalu memasukkanya kedalam mulut. Lauk yang tersisa di kantin itu, yang sekarang ada dipiringnya, hanyalah sayur dengan banyak sekali cabai dan tahu dengan kuah laksa. Alanis menatap sedih pada makananya dan mulai mengunyah pelan.

“Kau tahu,” Kenzie berbicara dengan mulut terisi penuh.

“Kita harus mecari jalan meyelamatkanmu.” Alanis mendengarnya. Tapi lagi-lagi tidak tertarik

“Ide bagus. Bagaimana?” jawabnya dengan nada datar.

“Menemui Darrel Adelard.”

Begitu tiga kata itu meluncur dari mulut Kenzie, semua cabai yang telah susah payah di telannya serasa meluncur naik kembali ke kerongkongannya. Membuatnya tersedak seperti hampir mati. Alanis terbatuk sangat keras dan menyakitkan. Beberapa anak yag semeja dengannya langsung berdiri dan mengakhiri makan siang mereka.

“Hei, tenang! Ada apa?” Kenzie panik.

Alanis menghabiskan air di botolnya dan rasa pedas itu masih saja menyiksa. Ia terpaksa mengambil botol Kenzie dan menenguknya hingga hampir kosong.

“Apa katamu barusan?” tanyanya menghapus air mata.

“Apa? Yang mana?”

“Menemui….” Alanis tidak percaya akan mengucapkan nama itu. Di sini, di hadapan sekian banyak orang.

“-menemui… siapa?" Ternyata ia memang tidak sanggup mengucapkannya.

“Darrel Adelard.” Kenzie mengangkat bahunya, seakan tidak mungkin ada orang lain dalam pembicaraan mereka.

“Cowok ganteng yang kemarin tiba-tiba memelukmu. Kau tidak mungkin melupakannya, kan?” jawab Kenzie seraya tertawa ringan di akhir kalimatnya dan kembali makan.
Ia bahkan tidak tahu dosa besar apa yang baru saja di lakukannya dengan mengucapkan kata itu.

“Kita sebaiknya pergi dari sini sebelum kau jadi sasaran selanjutnya.” Putus Alanis seraya menyeret teman satu-satunya itu keluar kantin.

“Jangan sembarangan menyebut namanya. Akibatnya fatal.”

Alanis berbicara dengan suara menyerupai teriakan tertahan. Ia membesarkan matanya, menekankan bahwa ia serius. Kenzie berlebihan menutup mulutnya dengan telapak tangan.

My Opium GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang