BAB 3

29 0 0
                                    

Alanis mendapati dirinya tergeletak tidak berdaya di atas kasurnya. Ia memejamkan mata rapat dan terengah-engah tanpa alasan. Kedua telapak tangannya menekan dadanya untuk mengendalikan detak sangat cepat di bawah sana. Ia berulang kali menelan ludah dan menahan napasnya sendiri. Beberapa kalimat terus terlintas di pikirannya.

Mulai besok, beradalah di dekatku.

Kalimat itu menggena di telinganya. Merambati pikiran dan hatinya. Membuatnya bergetar dan terguncang.
Sepuluh menit berada dalam ruangan itu terasa seperti satu hari.

Embusan napas lemah. Aruma parfum ocean. Warna bola mata hitam kelam. Dan dua kancing teratas kemeja yang di biarkan terbuka. Perpaduan semua itu membuat Alanis bingung. Menu duk ataupun mendongak, keduanya terasa salah.

Alanis tidak pernah selemah ini di hadapan laki-laki. Ia selalu bisa bersikap biasa. Pengalaman masa lalu telah mengajarinya banyak hal.
Tapi, otaknya kosong setiap kali Darrel ada. Karena untuk pertama kali dalam hidupnya..

Aku menginginkanmu.

Seseorang mengucapkan kalimat itu padanya.

Laki-laki itu secara tidak sopan memeluk Alanis dari belakang saat ia dimaki di depan kelas kemarin. Alanis ingin menyikut, menginjak kaki, mencekik, atau apapun yang bisa dilakukannya. Tapi, ketika bisikan itu merasuki telinganya, ia mematung.
"Oh Tuhan... " Alanis mendesah.
Ia tidak tahu apakah semua kalimat yang di dengarnya tadi hanya bualan.

Tapi, Darrel tidak tampak seperti orang yang ingin menghancurkan reputasinya. Ia hanya memiliki empat teman di kampus. Mereka sangat populer. Tapi populer karena sejarah menakutkan menghajar orang. Sejarah itu dimulai pada akhir semester satu, semakin menggila setengah tahun berikutnya, dan sedikit berkurang mendekati natal lalu. Tapi, seluruh 'pertempuran' itu tidak di mulai gengnya. Walaupun jelas mereka yang mengakhirinya. Setindaknya begitulah yang Alanis dengar dari Kenzie. Dan itulah alasan ia tidak di keluarkan dari universitas ini sampai sekarang. Karena bukan penyebab munculnya masalah.
Siapapun yang mengganggu sahabatnya, Darrel akan membuka pintu neraka untuk mereka.
Jadi, apa Darrel menganggap Alanis sahabatnya?
Alanis menggeleng lemah. Ia sendiri tidak yakin.
Tapi, setidaknya pesuruh sudah cukup. Alanis tidak mau lagi di kerjai terus-menerus. Ia ingin kuliah dengan baik.
Jadi, tindakan tadi siang cukup beralasan.

"Alanis, keluar! Bantu kakek!" seruan itu memukul gendang telinya dan membuatnya bangkit segera.
Ia menyeimbangkan tubuh sesaat dan segera berlari keluar kamar.
"Yaaa!"

                            🍃🍃🍃

"Satu nasi tim, dua nasi ayam, satu nasi kari. Enjoy!"

Alanis meletakkan kuali makan itu di meja dan tersenyum lebar. Empat lrang yang duduk di meja bundar itu sigap menerima makanan. Mereka hanya tersenyum kecil pada Alanis dan segera mulai makan.

Alanis berbalik dan memeluk nampan kayu di lengannya. Kakinya bergerak cepat kembali pada kakeknya di etalase saji.
"Kamu sengaja mengerjai kakek? Kenapa lama sekali?"
Protes kakeknya dengan suara serak dan berat. Tangannya bergerak menata lauk-lauk itu ke atas nasi di dalam kuali panas di tangan kirinya.
"Tadi ketiduran, kek. Maaf" Alanis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mengambil alih kuali-kuali panas lain.
"Sini biar aku saja."

"Ada masalah waktu belajar?" tanya kakeknya seraya mengelapkan tangan ke celemek lebar yang membebat di pinggangnya.
Alanis menelan ludah. Ia tidak mengangkat kepala. Hanya menggeleng kecil.
"Tidak mulai besok aku akan mulai kelas intensif."
"Hoo... " jawab kakeknya dengan nada biasa.

Ia berjalan membungkuk dengan langkah terbata dan duduk di kursi kasir. Beberapa pelanggan menghampirinya. Membayar dan bercengkerama sebentar. Mereka teman-teman sejawat kakek yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi pelanggan tetap.

My Opium GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang