Darrel melemparkan kacang ke udara dan menagkap dengan mulutnya. Ia melakukannya dengan berbagai aksi hingga banyak kacang bertebaran di kolam. Berbaring di atas kasur angin yang mengapung di kolam renang, musuk dari headset, dan sekantong pistachio. Hanya itu yang dibutuhkannya sekarang.
Ia menutup mata menikmati alunan musik yang baru selesai di-compose-nya kemarin. Tersenyum pada bagian yang di sukainya. Serta mengingat bagian yang perlu diperbaiki. Ia tidak pernah menyangka saxophone dan flute bisa menghasilkan musik semacam ini. Dan hasil kerja kerasnya mendapat pujian dari dosen.
Sesungguhnya ia tidak membutuhkan pujian. Ia hanya ingin lagunya layak mengikuti kompetisi tingkat internasional. Hanya itu mimpinya.Penataan kolam renang di belakang rumahnya diubah siang tadi. Neneknya sedang melakukan renovasi. Mini bar di sudut kanan tembok itu diperlengkap dan diberi lebih banyak lampu. Bangku berjemur yang sudah jelek diganti dengan yang baru. Ada ayunan kecil di sudut lain yang menurut Darrel sama sekali tidak berguna. Satu-satunya yang paling menarik hanyalah tempat shower yang diberi pembatas bambu seperti yang pernah dilihatnya di Jepang.
Seseorang melempar kacang dan mengenai dahinya. Mengulangnya beberapa kali hingga Darrel membuka mata dan menatapnya. Ia mengangkat sebelah alis, malas berkata-kata.
"Pinjem baju" ucap Philemon tanpa suara
Darrel mengangguk dan kembali menutup mata.
Ia sempat tertarik melihat penampilan temannya yang tidak biasa. Phil basah kuyup di balik kemeja putih dan jas hitam. Seperti pemain serial tv yang mengejar gadisnya di tengah hujan. Tapi, setelah dilihat kembali, ternyata tidak semenarik itu untuk membuat Darrel turun dari kasur anginnya.Temannya yang lain datang. Albern, Ararya, dan Dion. Berisik seperti biasa.
Ararya duduk ditepi kolam. Ia mencelupkan sebagian kaki dengan gitar yang berada di pangkuanya. Albern dan Dion mengaduk-aduk kulkas dan lemari makanan di mini bar.Darrel masih pada posisinya. Ia sekali lagi melirik langit. Tetap tidak ada bintang.
Biasanya langit Singapura yang selalu terang tetap memberinya satu atau dua bintang. Tapi, hujan tadi sore membuat langit tertutup awan. Menyebalkan."Bulan depan kampus kita ada acara. Aku ditunjuk menjadi ketua." Phil kembali dari kamar Darrel seraya mengacak-acak rambutnya yang basah.
Darrel menghentikan alunan musiknya. Tapi, tetap mempertahankan headset di telinganya.
"Acara apa?" tanya Ararya menghentikan petikannya.
"Kompetisi musik tahunan." Phil meneruma sodoran minuman dari Albern dan duduk di antara mereka.
"Aku tidak tertarik." sahut Dion malas.
Phil menggeleng "Kalian harus tertarik."
Ia memejamkan sebelah mata ketika minuman terlalu dingin itu membuat giginya linu.
"Aku berniat mengundang banyak artis. Dan kebanyakan pesertanya... adalah mahasiswi." Balasnya dengan senyuman penuh arti."Seriously?"
Gotcha! Hanya dengan satu kalimat, Phil mendapat perhatian dari Albern dan Dion sekaligus. Ia menendang kecil pada Ararya yang tampak pura-pura menimbang. Dan pada tendangan kedua, ia mendapatkan tiga anggukan.
Hanya tersisa Darrel yang belum merespon. Phil mengambil segenggam kacang. Ia hendak mengganggu makhluk apatis itu lagi.
"Satu lagi kacang di kepalaku, jangan harap aku mensponsori acaramu." Ucap Darrel masih dengan mata terpejam.
Phil tertawa. Tapi, ia tidak membatalkan niatnya. Sejumput kacang itu dilemparkannya bersanaan ke tubuh Darrel.
"Aku akan minta langsung pada nenekmu."
Darrel membuka matanya setelah hujan kacang itu reda. Ia setengah bangun dan membersihkan tubuhnya.
"Nenek peyot itu hanya mempercayaiku." ucapnya seraya tersenyum menanggapi gurauan temannya.
Ia melepas headset dan sepenuhnya bangun.
"siapa yang kau maksud dengan nenek peyot?"
Suara itu menusuk Darrel dan membuat jantungnya berhenti. Ia menoleh cepat ke kanan dan mendapati neneknya berdiri di tepi kolam dengan tangan terlipat di depan dada.
Darrel menelan ludah.
Semua temannya tertawa terpingkal-pingkal tanpa suara di belakang."Siapa yang berkata nenek peyot? Kau salah mendengarnya, My Lovely Granny! Hahaha!"
Darrel tertawa kaku di ujung kalimatnya. Wajahnya dibuat bahagia dan kedua tangannya terulur, seperti hendak memeluk neneknya.
"Keluar dari air!"
Darrel segera bergerak menuruti titah. Ia mendayung-dayung dengan tangannya dan melompat ke tepi kolam. Saat mencapai tanah kering, neneknya tidak lagi berada di sana. Seperti biasa, ia berpatroli ke tempat lain.
Teman-temannya masih tertawa melihat kejadian barusan."Damn you, Phil!"
Darrel memang selalu kalah melawan neneknya. Tidak, ia bahkan tidak pernah melawan. Hanya cukup dihadapkan saja sudah ciut.
"Jadi, apa keputusanmu? Join me?" tanya Phil lagi.
Darrel menghela napas malas."Kau ingin aku melakukan apa?"
Phil bangkit. Ia meminta perhatian keempat sahabatnya yang kini duduk di empat bangku panjang.
"Aku butuh tiga juri. Masing-masing untuk vokal, instrumen, dan performance. Darrel, kau jelas memegang instrumen. Dan untuk sisanya, ada ide?"
Sebuah ide terlintas di benak Darrel. Ia tersenyum kecil, namun segera menghapusnya.
"Kurasa Callysta cocok untuk performance. Sedangkan juri vokal, hmm.. "
Albern tampak mempertimbangkan.
"Kurasa kau harus meminta dosen melakukannya. Kau tahu, kampus kita-" kalimatnya terputus di tengah jalan.
Tatapannya dan Dion bertemu pada waktu dan ide yang sama.
"Bukankah kampus baru saja dibuat ribut mahasiswa baru itu?" sela Ararya.
"Aku tidak pernah mendengar suaranya. Tapi, kalau memang dia absolute winner, kurasa tidak ada calon yang lebih baik."
Albern tersenyum licik dan membasahi bibirnya. "She's hot, Man!"
Dion tertawa menyambut tangan Albern untuk tos.
"Siapa namanya?" ucapnya berusaha mengingat."Alanis Belvam."
Darrel tersenyum dan mengulang dengan jelas dan perlahan nama gadis yang sejak tadi ada di dapam pikirannya.
"Siapa dia? Kenapa hanya aku yang tidak tahu?"
Phil tidak mengerti kemana arah pembicaraan keempat sahabatnya. Ia terlalu sibuk mengikuti kompetisi itu hingga ketinggalan berita penting.
"Kau akan tahu. Segera."
Ucap Darrel dengan senyuman yang sama di balik kaleng sodanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Opium Girl
RomanceDarrel Adelard - Alanis Belvam "Aku sanggup melewati segalanya, jika kau tidak lagi berencana untuk pergi."