Bagian 3

92 2 0
                                    

       Gue sampe Semarang sekitar jam 9 pagi, dan sore ini gue baru aja bangun tidur setelah tidur lumayan lama akibat jetlag naek bis. Gue pun menuju dapur kos-kosan dan menyeduh kopi hitam untuk menenangkan otot-otot gue yang masih kencang karena selama di bis gue tidur dengan posisi yang nggak enak sama sekali. Dan seperti biasanya, Ika udah nggak pernah ngontak gue lagi karena memang udah dua bulan berlalu kita nggak ketemu dan mungkin, dia udah nemuin orang baru yang ditemuinnya entah dimana. Meskipun begitu, gue masih tetep nyimpen semua kontak cewek yang pernah deket sama gue dan membiarkannya bergonta-ganti foto profil tanpa pernah menyapa mereka lagi.  Tapi terkadang, beberapa dari mereka masih ada yang ngabarin gue sekali dua kali karena minta ditemenin ke Salon ataupun renang bareng karena mungkin pacarnya lagi nggak bisa ataupun mereka lagi ada masalah sama cowok masing-masing. Gue sih nggak masalah, karena dalam perjalanan karir asmara, gue sama sekali belom pernah bawa perasaan dengan cewek-cewek yang deket sama gue. Gue masih menganggap mereka sebagai hubugan timbal balik yang saling membutuhkan satu sama lain, dan bagi gue, hal semacam itu nggak perlu diberi label “pacar” atau “cinta” kalo memang dari gue maupun si cewek sama-sama nggak bawa perasaan mereka ke hubungan kita, hanya sekedar teman bermalam atau teman melepas penat. Dan gue, menikmatinya.

      Selesai ngopi, perut kerasa kosong banget karena memang dari pagi gue belum nyentuh nasi dan hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di kos-kosan. Gue berniat nyari makan diluar, tapi gue mikir, ngajak siapa ya? Bukannya apa-apa, tapi gue seumur-umur di Semarang, belom pernah sekalipun makan diluar sendirian, pasti ada temen makan yang entah itu temen kampus, temen kosan, maupun pacar tanpa status gue. Karena bagi gue sendiri, gue mengakui bahwa gue adalah makhluk yang paling butuh bersosialisasi tingkat akut karena nggak bisa seharipun untuk nggak ketemu sama orang lain. Kayak ada yang beda aja kalo sehari belom ketemu orang lain, siapapun itu. Dan malem ini, gue berencana ngajak makan Salsa untuk pertama kalinya selama gue dan dia saling kenal sebagai seorang sodara jauh. Sebelum-sebelumnya gue sama sekali nggak pernah keluar bareng sama dia ataupun pergi bareng beli tiket pulang atau hal semacam itu dalam hidup gue, dan ini pertama kalinya gue ngajak dia makan bareng karena memang kebetulan, temen-temen gue belom pada ke Semarang dan kebanyakan dari mereka baru sampe sini besok siang.

      Gue berkeliling selama kurang lebih 20 menit untuk nyari tempat makan, dan kebetulan, Salsa ngajak Hana untuk bisa ikut makan bareng kita. Salsa bilang kasian kalo Hana nggak diajak, karena pada dasarnya dia belom punya temen satupun disini dan cuma punya kenalan sodara gue ini. Mulai dari soto, bakso, mie ayam, nasi padang, dan ayam penyet semuanya kita lewatin. Bukannya nggak doyan, tapi belum ada satupun dari mereka yang buka malam ini. Entahlah, padahal gue ngerasa ini udah mau masuk hari kuliah dan harusnya mereka sadar kalo mahasiswa udah pada balik kesini dan butuh makanan. Akhirnya, kita berenti di satu-satunya tempat makan yang buka malem ini dan emang langganan gue kalo mau beli nasi goreng ataupun kwetiau yang enak di daerah sini. Disini kita kembali ngobrol tentang dunia perkuliahan, yang buat gue, merupakan obrolan paling membosankan yang pernah dilakukan oleh umat manusia. Kali ini Hana yang lebih banyak nanya, karena mungkin tinggal beberapa hari lagi kali ya dia masuk PMB dan harus tau seluk beluk kampus yang mungkin dia nggak paham karena FTV yang selama ini dia tonton sok-sokan pake “setting tempat” dunia perkuliahan, sama sekali nggak membantu dan malah membuat dunia kampus seolah-olah cuma panggung sirkus yang bisa sukses cuma dengan ngampus, nggak nugas, nggak skripsian, nggak ujian, tapi sukses.

      Dan disini, entah kenapa gue punya keinginan yang kuat untuk minta kontak dia. seperti yang gue bilang waktu di bis, Hana anaknya lumayan, nggak terlalu cantik, tapi nggak jelek-jelek amat. Dia setinggi gue, kurang lebih sedahi guelah, rambutnya panjang lurus sepunggung, hidungnya nggak pesek tapi nggak mancung juga, dia kurus, dan kulitnya putih. Biasa aja emang penggambarannya, tapi ada satu hal yang membuat gue tertarik dengan dia, yaitu matanya. Dia punya mata yang agak sipit, alisnya sedikit tebal, dan buat gue, itu adalah kombinasi yang unik dari dia. Entahlah, dari dulu gue emang selalu suka memperhatikan perempuan bukan dari bentuk tubuh ataupu ukuran dadanya, tapi bentuk matanya. Gue nggak peduli dengan dadanya yang kecil atau pantatnya yang mungkin tepos, karena buat gue kedua hal tersebut bisa di “build”. Beda dengan mata, mau sampe kiamat pun, mata akan selalu sama, dan ciri khas mata yang unik, akan selalu memiliki nilai plus buat gue.

Bad Story From Bad GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang