Gue pulang dari Ungaran sama Ika sekitaran jam setengah 1 malem. Gue bener-bener ngajak dia buat ngelilingin Ungaran dan berharap dia ngelupain masalahnya untuk hari itu, gue nggak mau dia terlalu kepikiran masalahnya, gue kasian liat dia sekacau ini. Ika ketiduran selama perjalanan dan gue bener-bener nggak enak hati buat bangunin dia setelah sampe kos, alhasil, gue harus gendong dia dan bawa masuk ke dalam kamar layaknya gue yang ketiduran dan digendong bokap sewaktu kecil karena ketiduran di depan tivi. AC sengaja gue matiin, gue kembali menyulut rokok dan menghembuskan napas panjang sambil memikirkan kata-kata Ika sore tadi di Pondok Kopi.
"Ntahlah ya, gue ngerasa ancur banget liat keluarga gue broken home gini. Kadang gue mikir, kenapa gue harus dilahirin di keluarga yang kayak gini, kenapa nggak di keluarga yang lain, yang mungkin lebih harmonis." Ika duduk disamping gue seraya menggenggam tangan gue dan memeluknya.
"Bukan salah siapa-siapa Ka, semuanya udah jalannya. Lu gak bisa protes ke siapapun, jalanin aja, yang penting lu harus kuat. Karna yang gue tau, Ika itu tahan banting orangnya."
"Iya makasih, Ngga. Tapi lu gak tau gimana rasanya jadi gue. Berat banget, mungkin kalo gue gak sekuat ini dan gak ada lu yang mau nemenin gue, gue bisa-bisa bundir, Ngga."
Gue tersentak denger kata bundir dari Ika. Separah itukah? Sampe harus memaksa pikiran dan keinginan Ika buat lari kearah sana?
Gue mencium tangan Ika dalam genggaman gue, "Gue nggak suka lu ngomong sampe kesana ya, jangan ngomong kayak gitu lagi, ada gue disini. Lu bisa cerita, dan gue bakal jadi pendengar lu. Gue bakal nemenin lu sampe lu sembuh, tapi gue cuma nggak mau kalo lu sampe mikirnya kearah sana ya, jangan pernah. ...."
Dia cuma diem. Nggak mau jawab dan cuma mandangin cokelat panas yang dia pesen, mungkin sekarang udah jadi es cokelat karena hawa dingin disini yang lumayan.
Gue melingkarkan tangan gue ke pundak dia dan memeluknya. Dia kembali menangis di pelukan gue, gue biarin. Gue malah berharap dia puas-puasin dulu nangis sehari ini, buang semua rasa kecewanya, rasa sakitnya, dan semua rasa nyeri yang dia terima dari keluarganya. Mungkin gue gak terlalu paham apa yang dia rasain secara spesifik, tapi gue bisa merasakan rasa nyeri yang dia rasain dari raut muka dan tangisannya yang tiba-tiba muncul, dan dalam. Gue berharap lu lebih kuat, Ka. Jangan kalah sama masalah lu.
"Gue sayang lu, Ka." Gue mencium kepalanya yang masih memeluk gue.
Dan kembali lagi ke kamar kos gue yang berubah jadi rumah rehabilitasi ini, gue masih memandangi cara Ika tidur, yang menurut gue, dia gelisah. Dia tidur kayak orang lagi sakit, miring kesana, miring sini, kadang meracau ntah ngomong apa, dan itu baru gue liat sekarang ini. Gue cuma berharap, keluarga gue tetap baik-baik aja sampe kapanpun. Gue nggak tau apa yang bakal gue lakuin kalo misalnya guelah yang ada di posisi Ika, mungkin tindakan gue lebih frontal, mengingat gue laki-laki dan bisa saja melayangkan tinju gue entah itu ke siapapun yang menyelingkuhi orang tua gue. Gue ngeliat ada notif whatsapp di hp gue, mungkin udah dari tadi notif itu muncul, gue nggak tau. Gue pun membukanya dan ternyata benar, pesan dari Hana dan juga chat dari Pian yang ngajakkin nongkrong buat ngopi bareng sama anak-anak lainnya. Baru liat, karna baru buka hp juga dan dari tadi di Ungaran hp sengaja gue silent.
Hana: Besok jadi kak ke Jateng Fairnya?
Gue pun membalas: Iya jadi, besok kujemput jam berapa?
Gue pun kemudian menelpon Pian dan memastikan dia masih di tempat ngopi apa nggak, karena kebiasaan gue dan anak-anak adalah ngopi sampe jam 3 pagi, bahas agamalah, bahas politiklah, dan semakin larut, maka topik akan berubah kearah bahas cewek mana yang lagi hits di kampus gue. It's normal for us, maybe for all man.
"Dimana Yan? Masih di Opium?" Tanya gue di telepon.
"Masih Ngga, sini aja. Lu dari tadi kemana, gua chat cuma ceklis satu?"
"Gue tadi sama Ika di Ungaran, ini dia nginep di kosan gue. Ada siapa aja disana?"
"Wooohhhh, genjooot terus. Kopong tuh dengkul lama-lama." Dan jawaban itu disertai suara tawa dari yang lainnya.
"Ntar gue ceritain, gue otw dulu ya. Tunggu disana jangan kemana-mana lu pada."
"Iyaa santai, gua nitip rokok tapi ya. Pada keabisan rokok disini, sepur semua."
"Iye, yaudah, gue jalan dulu."
Klik. Telpon mati dan gue pun beranjak ke Opium menggunakan motor gue. Namun terlebih dahulu gue kunci kamar dan menyalakan AC serta ngasih selimut ke badan Ika. Biarin dia istirahat dulu, gue mau nongkrong dulu sama temen-temen gue.
Sesampainya di Opium, suasanya udah sepi, sisa tiga meja melingkar aja yang masih ada pengunjungnya, dan rata-rata bergerombol laki-laki semua, mungkin rombongan yang ada ceweknya udah pada pulang ke kos masing-masing. Gue liat Pian dan yang lainnya ada di meja pojok kafe, gue samperin mereka dan ternyata sisa 4 orang, Gabel sama Angelina pulang duluan kata Pian, sisa Pian, Tomi, Aceng, sama Gugun. Mereka semua temen nongkrong gue, cuma Pian temen satu jurusan gue, sisanya kenal di kafe dan berlanjut jadi temen nongkrong karena punya kesamaan topik bahasan.
"Akhirnya dateng juga lu, udah pada asem ini mulut anak-anak." Kata Gugun setelah ngeliat kedatangan gue.
Gue pun menaruh dua bungkus rokok filter keatas meja, dan kayak anak kucing dikasih makanan Wishkas, mereka langsung berebut dan nggak menghiraukan beberapa pasang mata yang mengarah ke meja sini. Mungkin pikir mereka kelompok ini norak kali ya, ah bodoamat. Peduli setan.
"Gimana, katanya lu tadi mau nyeritain si Ika." Tanya Aceng sambil menyulut rokoknya.
"Gile, baru juga gue duduk Ceng, kasih napas aja dulu." Jawaban gue dilanjutkan tawa yang lainnya.
"Iya parah lu, capek anjir si Angga. Bayangin aja, 'ngecas' mulu di kos, udah gitu perjalanan kesini kan lumayan." Pian nyeletuk, disambut tawa lagi.
Selanjutnya gue pun mulai nyeritain gimana keadaan Ika sekarang, gimana kacaunya dia dan gimana gue ngajak dia keliling Ungaran buat ngasih treatment awal. Dan yang tadinya mereka pada ketawa nyangkain gue 'ngecas' sama Ika, mereka semua pada diem dan merhatiin cerita gue dengan seksama dan serius. Inilah yang gue suka dari mereka, mereka tau porsi dimana harus bercanda dan kapan harus serius dan ngehargain kondisi orang lain. Karena banyak temen-temen di kampus gue yang nggak bisa nempatin dimana harus ketawa dan kapan harus serius ngehargain, makanya gue nggak terlalu akrab sama temen-temen di kampus, khususnya anak jurusan gue, kecuali Pian inilah makhluk Fakultas Sosial yang paling gede jiwa sosialnya.
"Trus rencana lu kedepannya gimana, Ngga?" Tanya Aceng serius.
"Gue juga belum tau Ceng, tapi yang jelas, gue bakal berusaha dulu ngasih nyawa tambahan ke Ika. Seenggaknya gue nyediain dia rumahlah buat dia pulang, buat dia cerita."
"Iya, kasian cuk si Ika. Nggak tegaan gua kadang kalo liat cewek cakep begitu ada masalah berat." Gugun menghembuskan asap rokoknya. "Lu nggak mau tuker nasib apa Ngga, biar gua yang jadi rumahnya Ika?"
Sontak semua ketawa, karena kita semua paling tau, dari pertama kenal Ika, Gugun memang yang paling pertama suka sama Ika dan ngelakuin beberapa pendekatan ke dia. Bahkan, dia sempet nanya gue make pelet apa kok bisa-bisanya Ika nempel mulu sama gue. Gue jawab aja asal, "Semedi di Gunung Lawu, Gun."
"Trus si Ika sekarang udah tidur?" Tanya Aceng.
"Udah, mungkin dia capek. Capek badan, capek batin juga."
Dan pembahasan selanjutnya pun dimulai, gue dan lainnya mulai beralih topik ke masalah politik, ngebahas ideologi komunis di Indonesialah, bahas Pilpres Jokowi-Prabowolah, dan topik ditutup dengan tema Atheisme di jam 3 pagi. Kita semua bergegas pulang, karena caffe pun udah mulai beres-beres dan lampu ruangan udah mulai dipadamin tanda kita harus pamit undur diri.
![](https://img.wattpad.com/cover/132322376-288-k659054.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Story From Bad Guy
RomanceIni kisah gue, kisah yang beneran pernah gue alami dan membuat gue tersadar akan banyak hal. Semuanya akan gue ceritakan secara gamblang disini, gue akan jujur tentang diri gue, tentang kelakuan gue, dan semua yang pernah gue alami sampe akhirnya bi...