15 April

223 22 0
                                    

Untuk beberapa lembar di awal sepertinya masih membosankan.

Atau sampai buku ini habis juga isinya akan tetap membosankan?

Semoga saja tidak.

Oke....

Sekarang aku ingin membahas Hana.

Hai, Hana....

Ini adalah lembaran khusus untuk dirimu.

Jadi, Hana adalah teman dekatku di kelas sembilan.

Siapa bilang kami satu meja?

Yang benar itu, kami satu gebetan.

Ups....

Jadi, tanpa ada musyawarah terlebih dulu, mengakibatkan kami menyukai laki-laki yang sama.

Ingat dengan seseorang yang memberi Hana pulpen putih?

Yang aku yakini adalah kekasihnya itu?

Ya, dia adalah gebetan kami pada mulanya.

Tapi sepertinya Hana lebih beruntung daripada aku.

Sebenarnya aku ingin marah pada cowok itu.

Dia tau aku dan Hana mengincar pulpen putih itu, tapi kenapa hanya Hana yang mendapatkannya?

Dasar.

Di awal-awal hubungan mereka terjalin, tentu aku sakit hati.

Selain karena Aldit meminta Hana menjadi pacarnya di tengah ramainya suasana kantin, juga karena Hana mengangguk semangat hingga kepalanya nyaris lepas dari tempatnya.

Mungkin ada sekitar dua hingga tiga hari, aku menjauhi Hana.

Menjauhi dalam arti pindah tempat duduk yang asalnya satu meja di belakangnya, menjadi tiga meja di sampingnya.

Hana terlihat bodo amat saat itu, toh memang kami masih pergi ke kantin bersama dan izin ke toilet pun bersama.

Hingga pada akhirnya, aku biasa-biasa saja jika melihat mereka bersama.

Seolah sebelumnya aku tidak pernah menaruh hati pada laki-laki itu.

Aku malah ikut senang ketika mereka merayakan mensive.

Aku jadi kecipratan coklat.

Oke....

Aku ingin Hana membaca ini saat kami tidak satu kelas lagi.

Ya, tinggal beberapa bulan lagi kami akan pindah sekolah.

Itu juga jika kami lulus.

Bagaimana jika Hana tidak?

Eh, bercanda....

Mungkin cukup sekian bahasanku tentang Hana.

I love you, friend.

***

Sudah lama aku tidak bertemu Hana. Nomer hp kamu ganti, ya? Sms-ku tidak pernah kamu balas.

DIARIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang