Chapter 2 | Maxwell & Liam

13.8K 1.2K 22
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tepat ketika taksi berhenti di depan pelataran rumah, ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Aku mengganti tangan untuk menggendong Liam lalu merogoh saku blazer-ku. Satu panggilan tidak terjawab dari Ana, dan satu pesan yang juga berasal dari Ana. Jariku menyentuh layar dan pesan sedetik kemudian pesan Ana muncul.

Lizzy, lagi-lagi aku tidak pulang malam ini karena lembur. Kuharap, kau tidak masalah dengan itu, ya?- Ana

Aku langsung mematikan ponsel dan memberi beberapa dolar pada supir taksi. Liam yang tadi sempat tertidur saat perjalanan pulang, sekarang sudah membuka matanya lebar. Aku tersenyum dan mengganti posisinya di dalam gendonganku.

Satu tanganku terlepas dari tubuhnya dan merogoh tas tanganku. Mencari kunci rumah yang saat ini dalam keadaan kosong, tetapi aku mengernyit bingung saat menyadari kalau pintu rumah tidak terkunci. Apa Ana lupa mengunci pintu?

Aku sengaja membiarkan pintu terbuka untuk berjaga-jaga. Rumah masih dalam keadaan gelap. Aku meraba dinding dan menekan sakelar lampu. Dengan hitungan detik, suasana rumah langsung terang benderang. Mataku memperhatikan seisi rumah. Dapur, ruang tamu, ruang tengah, semuanya terlihat biasa saja. Aku lalu berjalan menutup pintu.

Perlahan, aku menaiki anak tangga sambil menyibukkan diri menghibur Liam. Putraku hanya diam menatapku dengan mata abu-abunya sembari mengemut jari tangannya. Aku terkekeh pelan dan membuka nursery room. Berniat meletakkan Liam di sana, sedangkan aku membersihkan diri.

Alangkah terkejutnya aku saat melihat seorang pria berdiri tegap memunggungi pintu masuk. Ia sedang memperhatikan jendela besar di dalam ruangan ini. Tanganku semakin memeluk Liam dengan erat ketika aku mengenali punggung tegap itu. Jantungku berdegup dengan kencang. Dia sudah menjadi raja, aku melihat upacara penobatannya di televisi dulu, tetapi mengapa dia ada di sini?

"Kapan kau akan mengatakannya padaku?" Suara bariton yang begitu kukenal mengalun indah di telingaku, tetapi aku bisa mendeteksi kemarahan dalam suara itu. "Katakan padaku, Elly, mau sampai kapan kau menyembunyikannya dariku?"

Astaga, 'Elly'.... Sudah lama aku tidak dipanggil demikian. Karena aku masih termangu, tanpa berbalik pria itu tertawa. Tawa dingin dan palsu.

"Tidak akan, bukan? Aku sangat mengenalmu, Elly."

"Max ...." lirihku. Pria itu berbalik dan bisa kulihat mata kelabunya yang menatapku datar. Mata kelabu yang kurindukan. Ah, ya, satu tahun terasa begitu lama dan dia berubah menjadi pria yang lebih berwibawa.

Liam kemudian menggeliat di gendonganku dan mulai merengek karena pelukanku yang begitu erat. Apa dia datang untuk merebut Liam dariku?

Maxwell berjalan mendekat dan dengan panik aku menjawab, "Max, kumohon jangan. Aku tahu kau marah padaku, tapi jangan pisahkan aku darinya."

Kakiku bergetar hebat. Jika saja Liam tidak ada di gendonganku mungkin saat ini aku sudah jatuh terduduk. Aku menunduk dan menyembunyikan wajahku yang sudah berlinang air mata. Maxwell berhenti melangkah. Entah apa yang dipikirkannya saat mendengar kata-kataku barusan. Namun itu hanya sementara karena ia kembali mendekatiku.

Liam semakin merasa tidak nyaman di dalam gendonganku. Ingin sekali rasanya aku lari, tetapi kakiku seperti terpatri di lantai. Aku tersentak ketika Liam ditarik dari tanganku. Aku berusaha mengeratkan gendonganku, tetapi kekuatanku tidak sebanding dengan Maxwell. Dengan cepat, Liam berpindah ke dalam gendongan Maxwell.

Isakanku semakin keras. Aku masih tetap menunduk dan tidak berani melihat apa yang sedang Maxwell lakukan. Suara rengekan Liam terhenti dan aku sedikit bernapas lega. Setidaknya, aku sadar kalau Maxwell berusaha menenangkannya.

Aku terkesiap ketika jari besar Maxwell memaksaku untuk mendongak. Mataku langsung bertemu dengan manik abu-abunya, yang kali ini menatapku dengan sedih dan penuh kerinduan. Dia menunduk dan mencium keningku lembut.

"Aku tidak akan pernah memisahkan anak dari ibunya. Sekarang aku bertanya padamu, kapan kau akan mengatakannya padaku? Bukankah aku pantas mengetahuinya?"

Dia memandangku dengan tatapan kecewa, tetapi ada secercah kebahagiaan di mata abu-abunya itu. Aku kembali meneguk ludah. "Aku tidak tahu."

Maxwell menghela napasnya dan memejamkan mata. Aku bersyukur dia masih bisa mengontrol diri di saat Liam berada di gendongannya. Maxwell menunduk dan mencium bibirku singkat, lalu meletakkan Liam di keranjang bayi. Maxwell mengelus pipi tembam Liam. "Dia sangat mirip denganku."

Air mataku sudah berhenti dan aku berjalan mendekatinya, membenarkan ucapan itu dalam hati. Bedanya hanya warna rambut Liam terlihat lebih terang dari papanya.

Maxwell berdiri dan menatapku dengan lekat. "Aku akan memberikanmu waktu untuk menidurkannya. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Kau mengerti?"

Aku mengangguk. "Baiklah."

Maxwell tidak berkata apa pun lagi. Dia berjalan meninggalkan ruangan, tetapi sempat mencium pelipis kiriku sebelum menghilang di balik pintu. Sikapnya memang berubah, tetapi Maxwell yang dulu masih ada di dalam hatinya dan aku bersyukur akan hal itu.

Aku menghela napas dan mengalihkan tatapanku ke arah Liam yang saat ini sedang menatapku dengan manik abu pemberian papanya. Senyum terpampang jelas di wajahnya, sedangkan kedua tangan dan kakinya bergerak aktif.

Aku tersenyum dan kembali mengangkatnya. "Lihat papamu, Liam. Kalian begitu mirip hingga keraguan di benak semua orang akan musnah saat melihatmu. Apa yang harus Mama lakukan sekarang? Mama belum sanggup berbicara dengan papamu."

Liam hanya mengemut jarinya, sesekali mengoceh seolah mengerti perkataanku.

"Apa pun yang terjadi, Mama akan selalu mendahulukanmu. Mama sayang padamu. Sekarang waktunya tidur." Setelah mengatakan itu, aku membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaian serta popoknya. Sedikit kesulitan karena kedua kaki bayiku sibuk menendang.

"Selesai!" Aku kembali menggendong Liam dan mulai menimang serta menyenandungkan lagu tidur padanya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Royal Heir (Book Two Of The Royal Series) ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang