Tiga

6.6K 460 27
                                    

Sanya tidak menghiraukan rambutnya yang berantakan, juga wajahnya yang kusam. Gaun lusuh dan tanpa alas kaki, ia melewati lobi hotel dengan tatapan ngeri dari sekelilingnya. Kakinya diseret, untuk mengurangi rasa sakit—di tempat yang sama—ketika melangkah. Dan ia segera masuk ke dalam mobil miliknya yang baru saja di bawakan petugas hotel ke depan teras lobi.

Ia mengemudikan mobil untuk keluar dari pelataran dan membaur di jalan raya. Kemudian, ia merasakan matanya berair dan air itu tumpah ruah sesaat berikutnya. Seingatnya, semalam setelah debat dengan Alden, ia jatuh dalam pelukan Gava, hanya itu. Selebihnya, ia tidak ingat lagi, namun ia tidak terlalu bodoh untuk tahu apa yang baru terjadi padanya.

Tangan kanannya bergerak menelusur leher, yang ia lihat secara singkat di cermin kamar tadi, ada beberapa tanda merah di sana. Lalu meremas gaunnya dengan kencang. Dan mengerang histeris dengan kepalan tangan menghantam kemudi. Ia merasa Tuhan sedang mengajaknya bermain dengan melemparkan gulungan-gulungan masalah yang membuat tubuhnya terbelit hingga sulit bergerak. Sekaligus menghukumnya dengan bulatan bom besar hasil tumpukkan dosa pada ayahnya dulu, bom yang kini meledak dan menjadikannya lebih dari bagian kepingan.

Ini keterlaluan. Sebelum ia bisa berubah menjadi malaikat di hadapan ayahnya, ayahnya lebih dulu pergi. Ia menyesal. Tidak pernah ada rencana di kepalanya apa yang akan ia lakukan ketika ayahnya pergi, karena ia benar-benar tidak tahu hal itu akan terjadi—dan tidak ingin. Dua hal yang ia tahu adalah: uang yang berguna untuk dibelanjakan dan waktu yang akan berjalan abadi, di luar itu tidak ada hal yang ia ketahui.

Sikap brutalnya itu tidak begitu saja tumbuh dari dalam  dirinya. Ini muncul karena… ia terlalu marah. Sanya, gadis yang dikenal ayahnya sebagai gadis manis dan ceria itu berubah saat kejadian mengerikan sepuluh tahun lalu.

***

Sanya, gadis yang saat itu duduk di bangku sekolah menengah atas baru saja pulang dari les malamnya, melangkahkan kakinya untuk membelah rumah besar yang saat itu terasa sangat sepi. Sepertinya para pelayan sudah berpindah ke kamar dan selesai bertugas, padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Langkahnya terayun menuju anak tangga. Sesekali memutar lehernya, mencari seseorang yang bisa disapa, namun usahanya sia-sia, rumah itu seperti tidak bertuan selain dirinya.

Langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar Modya—adik kecilnya—sudah ditutup rapat. Mungkinkah Modya sudah tidur? Ia kembali melangkah, namun tiba-tiba bulu kuduknya merinding, dan ia merasakan degupan jantungnya berpacu lebih cepat ketika mendengar suara dehaman keras seorang pria yang terdengar asing di telinganya.

Dengan langkah ragu, Sanya terus berjalan, lalu sesaat terpekur untuk mengingat arah suara itu berasal. Hanya berselang tiga detik, suara dehaman dan—tidak hanya itu—gelakan tawa terdengar. Saat itu, ia yakin suara itu berasal dari kamar orang tuanya. Ada siapa? Siapa pria yang berdeham dan tertawa itu? Suara itu bukan milik ayahnya. Lagi pula, bukankah tadi ayahnya baru saja mengabari bahwa sudah sampai di bandara untuk pergi ke luar kota?

Sanya meremas jemarinya sendiri, dengan langkah yang kembali terayun. Langkahnya seperti tengah melawan arus sungai: terseret, berat, dan nyaris membuatnya berputar untuk tidak melanjutkan. Tetapi hatinya berkata, ada sesuatu yang harus ia pastikan.

“Natalia, kau benar-benar…” Hanya suara itu yang terdengar jelas sebelum selanjutnya terdengar desahan-desahan sensual yang… menjijikan.

Sanya melangkah mundur dua kali. Tubuhnya kini gemetar dan berangsur menggigil. Sesuatu yang ia duga sebelumnya sedang terjadi, namun ia tidak mau meyakini bahwa dugaannya benar. Ia meyakinkan diri, bahwa ia sedang berhalusinasi. Ini semua... hanya halusinasi, atau mungkin mimpi buruk yang sebentar lagi akan segera berakhir.

Light in A Maze [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang