Sembilan

5.5K 409 69
                                    

Sanya sedang berdiri di pinggir area pembangunan, ia merapat ke dinding pembatas untuk berteduh dari teriknya matahari. Helm proyeknya sudah dibuka dan kini ia mengipas-ngipas sebelah tangan ke wajah.

Wajahnya berkeringat, rambutnya lepek, dan ia yakin tubuhnya sudah bau matahari. Ia segera menutup setengah wajahnya ketika truk pengangkut pasir melintas di depannya, karena udara berdebu langsung saja mengelilinginya. Beberapa pekerja menghampiri truk dan menurunkan pasir, pekerja lainnya sibuk dengan bangunan gedung yang masih berbentuk kerangka itu.

Sanya tersenyum saat melihat Alden yang diikuti Bana kini berjalan keluar dari area pembangunan. Alden mengenakan kemeja putih bergaris biru yang digulung sampai siku dan celana hitam, tanpa stelan jas dan dasi seperti biasanya. Mengenakan helm proyek, wajahnya berkeringat, sesekali berteriak memberi arahan, dan tangannya memegang gulungan kertas yang merupakan petunjuk pengerjaan. Pria itu terlihat sangat keren.

Kadang Alden terlihat marah dan menunjuk-nunjuk, kadang juga terlihat tenang membaca kertas di tangannya, lalu sesekali berdiskusi dengan Bana dengan kening berkerut, dan saat ini Sanya mencebik karena melihat Marry menghampirinya. Sanya tidak menyukai gadis itu, tentu, wajahnya seperti penggoda. Bukan karena ia merasa kalah dengan tubuh padat berisi dan pakaian super ketat itu, tetapi ia tidak senang ada wanita lain di dekat Alden. Wah, ia mulai posesif lagi.

Sanya melihat Marry merapatkan tubuhnya pada Alden untuk memperlihatkan gambar di dalam sebuah map. Mereka berdiskusi, saling menatap sesekali, dan selanjutnya Sanya tidak ingin melihat. Udara cukup panas dan ia tidak ingin menambahnya dengan menikmati adegan itu. Sanya bergerak ke area depan bangunan yang nanti akan dijadikan taman. Beberapa kali ia berkonsultasi dengan Rio selaku manajer produksi, menyesuaikan ide yang dimiliki, keinginan Roya, dan anggaran yang disediakan oleh pihak produksi.

Ia menelusuri lahan itu dan memandang bagian yang akan dijadikan jogging track. “Batu andesitnya harus dipasang kuat agar nggak goyang waktu diinjak. Karena ini untuk jogging, jadi permukaan harus rata agar nggak ada yang tersandung nantinya.” Sanya memberikan arahan pada pekerja.

“Minum dulu.” Sebuah botol air mineral diangsurkan padanya.

Sanya menoleh dan melihat Alden sudah berdiri di sampingnya. Ia meraih botol itu yang ternyata tutupnya sudah terbuka, lalu meminumnya. Kemudian Sanya melihat Alden membentangkan gulungan kertas yang dipegangnya di atas kepala Sanya.

“Panas?” tanya pria itu.

Sanya mengangguk, menahan senyum. Ia berharap Marry melihat adegan ini, atau perlu Sanya merapatkan diri pada Alden dan merangkul pinggang pria itu agar lebih terlihat jelas hubungan dekat di antara mereka?

“Lebar jogging track-nya dua meter. Jadi sesuaikan ukuran lebar batunya, tolong.” Sanya menunjuk tumpukkan batu andesit yang akan disusun. Ia memang cerewet dari tadi, entah mengapa, melihat pekerja itu ia mendadak ingin selalu menggomentari.

“Mereka punya petunjuk pengerjaannya, Sanya.” Alden berkomentar. “Drafter juga sudah membantu membuat gambarnya desuai dengan rancangan yang kamu berikan.” Alden mengingatkan Sanya yang terpaksa meminta bantuan drafter untuk desain gambarnya.

Mendengar kata drafter, Sanya menjadi lebih sensitif. “Drafter sangat membantu, ya?” ucapnya sinis.

“Ya, sangat.“ Alden mengangguk-angguk. Ia kembali menjadi pria menyebalkan lagi dengan sikap tidak sensitif seperti itu.

“Dan Marry banyak membantu.” Sanya memancing emosi Alden.

“Tentu.” Dan Alden tidak terpancing.

Sanya mulai kegerahan. Ia terkekeh dan pergi meninggalkan Alden.

“Sanya?” Alden mengekor. “Mau ke mana?” Ia menarik tangan Sanya. “Kenapa, sih? ” tanyanya.

Light in A Maze [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang