Tujuh

4.9K 383 34
                                    

“Senang bertemu dengan Anda, Pak Alden.” Pria itu lagi, senyum ramah yang menyiratkan ancaman, Edor Markov.

“Tidak begitu bagi saya,” balas Alden dengan suara pelan, namun wajahnya tetap tersenyum dan mereka berjabat tangan.

Hari ini ia sedang menghadiri acara makan malam yang diadakan oleh Roya Susanteo, pemilik proyek Big Mall. Saat ini, Roya sedang merayakan pembukaan proyek terbarunya. Sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Kemang yang dihadiri oleh berbagai kalangan koleganya.

Gedung pusat perbelanjaan itu baru dibuka tadi sore, dengan live musik di halaman depannya yang membuat macet jalanan karena akses masuk kendaraan dihalangi oleh gerombolan pemuda-pemudi yang akan menonton. Sementara acara perayaan untuk para rekan bisnis diadakan di Royal hotel, hotel di belakang gedung yang masih merupakan milik Roya.

Setelah menyapa Roya tadi, Alden berbincang bersama beberapa tamu yang datang, tersenyum, bersikap wibawa, berucap elegan, sampai ia jenuh dan berakhir terdampar sendirian di sisi ruangan bersama segelas koktail di tangannya. Namun, ini lebih buruk, Edor menyapanya dengan sikap yang seolah berkata bahwa, Masalah di antara kita belum selesai.

“Sanya tidak menyukai anda, saya tahu itu.” Edor menyesap minuman digelas dengan tatapan yang tidak lepas dari Alden. “Dan lambat laun semuanya akan terungkap.”

“Anda pernah mengatakannya, dan saya masih bisa menjawab, tidak masalah.” Alden menyesap koktail, lalu tersenyum tipis.

“Anda hanya perlu menunggu kejutan dari saya,” ujar Edor.

“Saya akan menunggu, sambil bekerja. Karena pekerjaan saya sangat banyak akhir-akhir ini.” Alden menyimpan gelas tinggi di tangannya pada nampan seorang pelayan yang baru saja lewat di sampingnya. “Dan sayang sekali, sepertinya percakapan kita harus berakhir di sini.” Ia melirik jam tangannya. “Istri saya sedang menunggu di rumah.”

Alden melangkah meninggalkan Edor. Ia tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan. Edor mengancamnya, setiap kali bertemu. Jika dulu ia akan menantang pria tua itu tanpa rasa takut, maka kali ini ia sedikit kesulitan melakukannya.
Sanya, wanita yang berada di sampingnya itu, sedang menikmati hidupnya. Menjadi seorang istri, yang baik. Menjadi seorang pekerja, yang teladan. Dan menjadi seorang manusia, yang lebih riang. Ada kekhawatiran yang menyeruak ketika membayangkan wajah Sanya saat ini. Entah bentuk perasaan apa, tetapi Alden tidak menyukai jika Edor akan mencampuri urusannya bahkan sampai mengganggu Sanya.

Ya, ini menjengkelkan. Ia sedikit tidak menyukai perasaan ini.

***

Sanya sudah duduk di meja kerja itu selama satu jam. Membuat beberapa sketsa untuk proyek taman yang ia tangani. Ada beberapa bola kertas di lantai sebagai bentuk ketidakpuasan pada gambarnya sendiri. Tidak peduli jika Alden akan datang ke dalam ruangan pribadinya itu dengan wajah kesal karena mendapati ruangan kesayangan yang beralih fungsi menjadi tempat tidurnya setiap malam itu menjadi berantakan.

Sanya menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ia mengabaikan kertas sketsanya dan menyapukan pandangan. Ruangan itu sederhana saja, hanya berisi meja kerja, lemari yang berisi banyak buku dan file, serta sofa bulu hitam di sisi kanan ruangan—yang biasa Alden gunakan setiap malam untuk tidur.

Dindingnya berwarna putih, sedangkan furniture didominasi warna hitam. Tidak ada lukisan atau foto yang menggantung di dinding. Juga bingkai foto yang biasanya ada di meja kerja. Ini tidak biasa, selalu, ia banyak menemukan hal yang tidak biasa pada Alden.

Sanya sadar, ada yang tidak beres dengan hubungannya. Kata hatinya selalu berkata, Seharusnya tidak begini. Setiap kali mendapati hal janggal dari Alden. Mereka canggung, tidak ada hal yang bisa Alden bahas saat bersamanya, tidak ada benda kenangan bersama, juga foto pernikahan yang sampai saat ini tidak pernah Sanya temukan. Banyak, banyak hal yang tidak bisa ia terima.

Light in A Maze [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang