s i x ; alaska, oh alaska...

976 137 10
                                    


Semuanya sudah siap. Yang harus dan bisa dibawa sudah tersusun rapi di dalam koper. Yang tidak harus dibawa ditinggalkan di rumah. Koper-koper besar sudah tersusun rapi di ruang tamu, siap untuk di bawa ke Alaska.

Betul, besok malam keluarga kecil Greef ini akan berangkat menuju Alaska bersama dengan kolonel-kolonel lain yang sudah siap bertugasdinas di tempat-tempat yang berbeda.

Jantung Irene berdegup kencang. Semuanya campur aduk di dalam hatinya, semua rasa memenuhi pikirannya. Kedua tangan mungilnya itu sedaritadi juga berkeringat terus. Tinggal hitung berapa jam lagi mereka akan berangkat dan akan tinggal di Alaska dalam jangka waktu yang akan menjadi panjang dan lama. Memikirkan itu degup jantung Irene makin lama makin cepat.

Irene kembali memikirkan kata-kata yang ia ucapkan dengan mantap waktu pagi yang lalu, ketika ia sedang melayani suaminya itu untuk sarapan. Irene sendiri juga kaget karena ia tiba-tiba berujar berani seperti itu. Tetapi jika dipikir-pikir kembali, memang itulah sebenarnya perkataan yang harus diucapkan oleh seorang istri tentara macam dirinya.

Irene tersenyum lemah, ia menggeleng-gelengkan kepala.

"Rene? Sudah siap?"

Suara dalam khas milik Regina membuat dirinya berhenti bergumul dengan takdirnya. Ia mendongak ke arah sang suami yang terlihat siap dengan celana bahan dan kemeja, dan jangan lupa akan jaket kemiliterannya itu. Fashion yang selalu melekat jika berpergian santai, seperti biasa.

"Hm? Ya, sudah siap." Irene tersenyum. Hari ini sebagai tanda untuk 'mengenang' momen-momen terakhir, Regina mengajak Irene jalan-jalan. Dari awal sakit Irene meracau tentang bosan dan ingin pergi ke taman, makanya mereka pergi sekarang. Irene sendiri juga sudah terlihat sangat segar. Ia memakai summer dress berwarna biru langit yang indah—warnanya senada dengan netra sistematis sang suami. Ya ampun.

"Baiklah." Regina mengangguk. Irene balas mengangguk sambil tersenyum. Lalu hening di antara keduanya.

Regina menghembuskan nafas, dan langsung saja ia mencium pipi istrinya yang manja itu.

"Uhm," Irene menutup matanya ketika pipinya dicium lagi. Seperti biasa, suaminya selalu saja mencium pipinya jika dirinya sedang merasa sedih atau bagaimana. Sebuah gestur singkat yang sopan. Yaa Regina Greef masih kaku, sih, dalam gestur-gestur yang seperti itu. Ya sudah, biarlah.

"Sudah, jangan sedih terus." ujar Regina, selesai dengan kecupannya yang pertama. Sepertinya ia akan memberikan kecupan yang selanjutnya jika wajah Irene masih begitu.

"Iya..." Irene berujar lirih. Regina kembali mencium pipi istrinya itu.

"Jangan begitu wajahnya. Hari ini kita pergi ke taman bermain, seperti yang kamu inginkan. Senang-senang, ya?" kata Regina lagi. Irene mengangguk pelan.

Dan sebagai gestur yang mencukupi semua kecupan di pipi itu, Regina memberikan sebuah kecupan manis di bibir plum milik seorang Irene Margareth, istrinya yang cantik itu.

"Aku mencintaimu, Rene." lembut sekali suara Regina yang satu ini. Mendengar itu Irene tersenyum, hatinya menghangat. Kedua lengan mungilnya itu pun ia lingkarkan di leher suaminya. Memeluk Regina dengan penuh cinta.

"Iya, aku tahu," Irene berujar lirih di telinga Regina. "Terimakasih."

Mendengar itu, Regina tersenyum. Ia balas memeluk istrinya itu. Ada rasa bangga yang tersirat di dalam hatinya.


---


et cetera, et ceteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang