Irene merasa akhir-akhir ini ada yang aneh dengan Regina.
Ya, sebut saja tingkah laku Regina yang kaku memang tidak pernah hilang, tetapi yang ini lebih mengarah ke... bagaimana, ya, menyebutnya? Regina jadi lebih sering melamun, lebih sering lupa makan, lebih sering menyendiri, dan berbicaranya menjadi lebih.. well, irit.
Memang, Irene tahu betul kalau suaminya ini dari dulu ya.. memang seperti ini. Bicaranya tak terlalu banyak dan lebih memilih untuk merespon dengan senyuman ketimbang kata-kata setiap kali Irene melakukan hal-hal hangat untuknya. Ya, begitulah kelakuan si kepala keluarga muda Greef yang satu ini.
Tetapi akhir-akhir ini Irene merasakan sesuatu yang benar-benar berbeda. Entah kenapa, Regina jadi suka berdiam diri, menundukkan kepala, mengerutkan alis dan kebanyakan menghembuskan nafas panjang. Seperti menanggung suatu beban berat di punggung. Ya memang Irene juga tahu kalau beban Regina, suaminya ini memang banyak, tapi entah kenapa…
Entah kenapa untuk yang ini… rasanya aneh.
Sekarang, hujan sedang turun dengan begitu derasnya. Ya, hujan salju. Hujan apa lagi, memangnya? Untung saja hari ini Regina sedang tidak memiliki jadwal bertugas. Dengan begitu pada akhirnya Regina dan Irene kembali menghabiskan waktu bersama-sama di rumah dinas yang hangat dan nyaman. Irene sedang menyiapkan segelas cokelat hangat dan roti bakar untuk suaminya yang masih tertidur. Setelah selesai semua dibuat, barulah Irene akan membangunkan Regina.
Sembari membalikkan roti di wajan, Irene melirik ke luar jendela. Alaska memang tidak pernah dipenuhi apa-apa lagi selain salju. Hujannya bahkan terkadang terlihat seperti parutan kelapa. Di mata Irene, terkadang Alaska itu menyeramkan. Membuat dirinya ingin bersembunyi di balik selimut, seperti anak kecil yang takut terhadap monster yang berada di bawah kasur. Ah, tapi mau sebagaimana menakutkannya Alaska, Irene tetap memiliki seorang pembunuh monster yang selalu membuat dirinya merasa hangat dan nyaman. Ya siapa lagi kalau bukan separuh hatinya, Regina?
Ah, benar-benar.
“Hah..” bahkan hembusan nafas di dalam rumah saja terkadang mengeluarkan embun. Irene pun mematikan kompor, menaruh roti di atas piring kecil. Lekas ia membuat segelas cokelat hangat. Selesai semuanya ia pun menaruh sarapan untuk suaminya itu di atas meja.
Oh, ya, aku harus membangunkan suamiku, ujar Irene dalam hati. Figurnya yang mungil berjalan perlahan menuju kamar mereka. Diputarnya gagang pintu perlahan.
Ia kira Regina masih berada di balik selimut, ternyata tidak. Dilihatnya sang suami yang tengah duduk di ujung ranjang, punggungnya yang kokoh menghadap Irene. Sosoknya terlihat begitu sendirian di bawah remangnya cahaya kamar. Kepalanya tertunduk, tangannya seperti memegang sesuatu.
“...Regina?” ujar Irene, pelan. Regina lantas langsung menoleh ke belakang, mendapati sang istri yang tengah termangu di depan pintu kamar.
“Oh, hei,” Regina menaruh entah apa yang ia pegang sedaritadi itu di atas meja nakas. Ia tersenyum, berdiri dari duduknya dan menyambut sang istri. “Selamat pagi, Rene.”
“Selamat pagi juga,” ujar Irene, suaranya teredam oleh kaus yang Regina kenakan. Regina tengah memeluknya dengan begitu hangat. Tapi entah kenapa pelukan Regina juga terasa begitu lelah di saat yang bersamaan. “Regina.”
Lalu Regina mencium kedua pipi Irene yang terlihat begitu merah karena udara yang dingin. Hidung kecil Irene pun juga terlihat seperti hidungnya Rudolf, rusa kesayangan si Santa Claus itu. “Merah sekali pipi dan hidungmu ini,”
Irene hanya tersenyum, mencubit pelan lengan Regina.
“Ayo ke meja makan,” Irene menarik-narik lengan Regina. “Sarapannya sudah siap.”
KAMU SEDANG MEMBACA
et cetera, et cetera
Fiksi Penggemar[AU] ketika anak semata wayang manja cantik menikah dengan tentara tegas bersikap acuh tak acuh yang membenci sikap manja. entah apa yang terjadi selanjutnya. ©haanhan. fik ini juga dipublish di asianfanfics atas nama masterhan.