'5'

18 1 0
                                    

Jika aku dapat memilih, aku ingin Ibu Kak Afi selalu hidup bersama dengan ke-dua keluarga kecil kami. Keluarga Umaisya dan Kak Afi, yang selalu indah dalam bayangan tanpa mampu merusak sedikitpun rekapan kenangan yang telah berlalu. Namun, sang Pemilik berkata bahwa sudah waktunya pulang bagi ibu Kak Afi. 


Belum sempat Ibu dioperasi pemasangan pen pada tulangnya yang patah, Ibu sudah lebih dulu dipanggil Allah. 


Di depan kaca ruangan bayi saat itu, mataku berpaling ke arah kak Rama. Menantikan kehadirannya diantara kami bertiga, tapi yang kulihat ia sedang menerima telfon dari seseorang disebrang sana. Entah kabar apa yang kak Rama dapat sampai seluruh wajahnya berubah menjadi kelam dan kelabu. Perlahan ia menundukan kepalanya, jari telunjuk tangan kanan kak Rama menghampiri keningnya memperlihatkan raut wajah duka yang dapat ku lihat dari kejauhan. Ingin ku berlari secepatnya, namun saat itu kak Afi mengarahkan wajahku untuk melihat seorang bayi yang baru dilahirkan. Bayi itu, terlihat baru di bersihkan dan diletakkan pada box bayi dengan nama "Gadis Cantika" raut wajahnya begitu menenangkan. Siapapun yang melihatnya, pasti akan terpesona dengan teduhnya sang Gadis imut itu. Namun, teduhnya wajah Gadis tak begitu meneduhkan hari itu. Ku menggenggam tangan kak Afi, melihat tepat di depan bola matanya dan dengan posisi agak menunduk dia menatapku dalam. Saat itu, ku takut akan sesuatu yang terjadi dan menyakitkan tak ada lagi kak Rama pada posisinya semula tatapanku berarti dalam bahwa sesuatu telah terjadi. Tatapan Kak Afi saat itu seperti bertanya, apa yang membuatmu terluka dan tatapku menjawab bahwa kita telah kehilangan Ibu. 


Tak lama berselang, Kak Rama memeluk Kak Afi dari belakang. Setelah berlari, menemui sang penelfon tadi kak Rama memastikan bahwa Kak Afi siap menerima kabar itu. Saat itu, tetes air mata kak Rama terasa mengalir di punggung kak Afi yang masih menunduk mencerna apa yang telah terjadi. Seketika, Kak Afi membalikkan badannya dan terjadilah perdebatan hebat diantara keduanya.


"Apa yang mau lu sampein ke gua Ram?", tanya kak Afi menunduk geram.


"Fi, Ibu gua siap nerima lu jadi anaknya." Ucap kak Rama sambil memegang bahu kak Afi. Namun, sayang marah kak Afi meledak saat itu. Ia melepas kedua tangan kak Rama sambil memperlihatkan muka dendam dan penuh amarah. Matanya berbalik menujuku, meletakkan kepalanya pada bahu kecilku dengan kedua tangannya mencengkram erat pangkal lenganku. Sedikit terasa sakit cengkramannya saat itu. Hanya berselang beberapa menit, ia melepaskan tanpa sempat ku membalas dukanya bergegas menggerakkan kedua kakinya dengan cepat berlari menuju kamar duka Ibundanya.


Pelari UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang