Dibawah Cahaya Bulan

22 1 1
                                    

Cahaya bulan seakan menyorot mereka yang masih berseragam SMA malam itu. Tempat yang mungkin dapat dinilai sabagai “sarang berandal jalanan”, disanalah mereka berada. Dua kubu pelajar laki-laki yang saling menyimpan kebencian satu sama lain. Black Rock dan Sonic, dua kelompok “berandal” itu dengan penuh kebencian dan pikiran yang pendek, mereka dengan mudahnya memepertaruhkan sesuatu, apapun itu demi sesuatu yang mereka nilai sebagai “harga diri”.

“Kalau lu emang berani, tujukin! Mana? Gua tantangin track-trackan aja alasan lu banyak! Cupu,” kata seorang lelaki dari Sonic.

“Heh, mau lu apa? Seenak jidat ya lu ngomong!” kata seorang lelaki yang tak terima Black Rock dihina sembari menarik kerah baju anggota Sonic.
“Black Rock cupu! Hhhh,” ucap lelaki tadi sembari menghina.

“Gua bacok baru tahu rasa lu! Black Rock can be glory!”
“Santai, gak usah main bacok dulu deh. Terima track-trackan aja dulu. Motor lu bagus juga. Kapan lagi gua bisa dapetin motor bagus? Ngerti maksud gua kan?”

“Oke, gua terima!”
“Oke. Kalau lu kalah, motor lu untuk gua!”

+++++

“Bro, lu yakin mau taruhan motor? Kalau lu kalah bisa jadi berabe,”  tanya Dion, anggota Black Rock yang juga sahabat Angan.

“Kuping gua gerah sama omongannya si Gery. Gua, Angan Tantra Dipura. Gak ada yang boleh ngejatuhin gua!”

“Ya udah.Good luck, Bro,” ucap Dion sembari menepuk pundak Angan.
Saat bendera dilepaskan, balapan pun dimulai. Angan terus-menerus memacu motornya. Begitu pula lawannya. Angan saat ini memimpin.

Dengan percaya diri, kebutan Angan semakin menjadi.
“Hahah! Turut berduka cita untuk Angan Tantara Dipura! Mana? Katanya ketua Black Rock!” kata Gery yang sedari tadi menghina Black Rock.

“Gak usah banyak omong deh!” ucap Angan.
“Mana kunci motor lu?! Sesuai perjanjian, motor lu untuk gua.” Angan pun memberikan kunci motornya dengan kasar.
“Black Rock emang cupu!” hinanya lagi.

BUUGGG!!!!

Tanpa pikir panjang Angan langsung melayangkan pukulan. Saling balas pukulan pun terjadi diantara mereka.

“Gua udah sabar ya daritadi ngelayanin mau lu! Kurang ajar!” ucap Angan.

“Liat, lu gak bakal selamat nanti!” kata Gery.

+++++

Angan pulang dengan wajah yang penuh dengan bekas pukulan. Darah segar masih keluar dari sudut bibirnya. Kakinya terus melangkah menuju jalanan yang sepi dan gelap. Tiba-tiba, Angan mendengar sesuatu yang janggal.

“Kalian mau apa? Saya gak punya apa-apa!” teriak seorang perempuan.

Angan pun spontan menghampiri asal suara itu. Disana dia melihat seorang gadis yang masih menggunakan seragam SMA tengah dikepung oleh tiga preman.

“Kamu manis juga ya. Ikut sama kita yuk!” ucap salah seorang dari preman.
“Jangan macem-macem kalian! Saya bisa pukul kalian satu-satu pakai tongkat,” ucap gadis itu. Angan sedikit terkejut melihatnya. Gadis itu buta.

“Berani benget ya,” ucap preman yang lainnya sembari merampas tongkat gadis itu.

“Sikat aja. Cantik nih! Kapan lagi ketemu yang begini,” ucap preman itu sambil menggenggam tangan gadis itu.

“Lepasin!!!! Lepasinnn!!!!!”

BUUUGGGG!!!!!

“Berani banget lu sama cewek buta! Kalau berani jangan sama yang beginian!” Angan meninju salah satu dari preman yang merebut tongkat gadis tersebut hingga tersungkur.

“Lu minggir dulu. Gua takut lu kenapa-kenapa. Pegang tongkat lu!” ucap Angan pada gadis itu.
“Songong juga ini anak! Sikat aja!” ucap preman yang lain.

BUUUGGGG!!!!! BUUUGG!!!!!!

Angan meninju semua preman hingga mereka tersungkur dan lari kocar-kacir.

“Iiissstttt...Aww.... Jackpot banget gua, kena pukul lagi,” ucap Angan sambil memegang beberapa bekas pukulan.

“Terima kasih, kamu udah bantu aku.”
“Santai aja,” ucap Angan cuek.
“Kamu luka ya?”
“Ya menurut lu gimana? Gua dipukulin,” ucap Angan jengkel.
“Kalau gitu kamu ikut aku aja. Rumah aku deket sini. Biar luka kamu diobatin dulu sama Ibunku.”
“Ibun?” tanya Angan. Kata Ibun terdengar asing ditelinganya.
“Itu panggilan buat Ibuku. Singkatan dari Ibu dan Bunda.”
“Ooohh... Emmm... Ya udah, sakit juga sih kalau gua pulang begini.”
“Kamu bawa kendaraan?”
“Gak, gua jalan kaki tadi.”

++++

Gadis itu membawa Angan berjalan menuju rumahnya. Ternyata jaraknya memang tak terlalu jauh dari tempat kejadian tadi. Langkah mereka pun terhenti di depan sebuah rumah sederhana. Disana terpampang plang “Rumah Singgah Pelangi”. Angan sedikit bingung saat melihat plang nama tersebut. Gadis itu langung mengetuk pintu dan mengucap salam.

“Assalamu’alaikum, Ibun.”
“Wa’alaikum salam. Senja, kamu pulang sama siapa ini?” ucap seorang wanita paruh baya.

“Ibun, dia tadi yang nolongin aku. Tadi waktu pulang kesini, aku diganggu sama preman.”
“Astaghfirullah! Tapi kamu gak kenapa-kenapa kan? Gak luka kan?” ucap wanita itu sembari mengelus wajah putrinya.

“Nggak, Bun. Justru yang luka itu Mas ini. Aku minta tolong obatin dia ya, Bun.”

“Ya udah, kalian masuk dulu.”

++++

Namanya Senja. Unik juga,” ujar Angan dalam hati.

Ibun mempersilahkan Angan untuk duduk di ruang tamu. Untuk ukuran rumah singgah, rumah itu terlihat sepi. Mungkin karena banyak penghuninya yang telah tidur. Ibun menganbil kotak P3K untuk mengobati luka Angan. Dengan telaten, Ibun mengobati luka Angan layaknya seorang ibu. Ibun pun meninggalkan Angan dan Senja agar mereka berbincang. Sekarang hanya ada Senja dan Angan di ruang tamu.

“Nama lu Senja?” tanya Angan pada Senja.
“Iya. Nama kamu?”
“Angan,” jawab Angan singkat.
“Terima kasih ya, Angan.”
“Sama-sama. Lu tinggal di rumah singgah? Berarti yang tadi bukan Ibu lu dong? Keluarga lu dimana?” ucap Angan.
“Iya. Ayah sama Ibuku udah meninggal waktu aku kecil.”

“Oh, sorry. Gua gak maksud jadi kaya begini,” ucap Angan bersalah.
“Gak usah dipikirin,” ucap Senja sembari tersenyum.
“Emm... Gua gak bisa lama-lama disini. Gua pulang dulu ya. Makasih udah ngobatin luka gua. Makasih juga untuk Ibun lu.”
“Sama-sama. Hati-hati, Ngan. Kita masih bisa ketemu lagi kan,Ngan?” ucap Senja.

“Pasti,” ucap Angan sambil tersenyum.

Seribu Angan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang