Janji Angan

14 1 0
                                    

Sore itu Angan memacu sepeda motor barunya menuju markas Black Rock. Baru saja seminggu lalu motornya jatuh ke tangan anggota Sonic, sekarang dirinya sudah memiliki sepeda motor baru. Bagi Angan kalau satu motor lenyap, hanya tinggal minta lagi pada orang tuanya. Itu hal mudah. Angan pun sampai di markas. Seperti biasa, anggota Black Rock telah menunggu kedatanganya.

“Weeeiiss... Bro, lu udah pakai motor aja,” ucap Dion.
“Masalah gini doang mah kecil buat gua. Tinggal calling Papi gua. Bilang aja motor gua ngadat,” ucap Angan.

“Tapi itu motor bukan kredit di leasing kan?” tanya Dion
“Sialan!” ucap Angan sambil membekap Dion dengan tubuhnya.
“Hahaha.. Sorry. Ya elah, baper.”
“Banyak omong lu. Ya udah, gua nitip motor disini.” Ucap Angan.
“Mau kemana lu?”
“Ada urusan! Gak usah kepo deh!” jawab Angan jengkel.

++++
Angan masih saja berdiri di gerbang sebuah sekolah. Mungkin sudah hampir tiga puluh menit Angan hanya mondar-mandir di depan gerbang sekolah itu. Seseorang yang Angan tengah tunggu adalah Senja. Hanya Senja. Dari kejauhan Angan melihat Senja tengah berjalan.

“Senja!” panggil Angan dengan gembira. Angan pun menghampiri Senja.
“Angan? Ngpain kamu disini? Kok kamu bisa tahu sekolah aku?” ucap Senja bingung.

“Waktu gua nolongin lu dari preman, lu masih pake seragam. Terus gua liat lokasi di seragam lu. Kita jalan-jalan yuk hari ini!”
“Kemana? Berdua aja?”
“Nggak, sama satpam sekolah lu juga! Ya cuma berdua lah!” ucap Angan kesal.

“Hahaha... Kamu kesal ya? Maaf maaf,” ucap Senja sambil tertawa geli.
“Lagian pertanyaannya!’
“Iya. Tapi kamu gak ngerasa repot jalan sama tunanetra kaya aku?”
“Kalau gua ngerasa repot, gua gak akan nyemperin lu kesini.”
“Ya udah, aku mau,” ucap Senja.

++++
“Ngan, kita dimana?” tanya Senja.
“Di danau. Kita duduk dulu aja.”
Mereka pun duduk disisi-sisi danau. Suasana sore itu berawan dengan semilir angin yang mengelus kulit Angan dan Senja. Terasa sangat tenang dan ringan.

“Gua suka kesini kalau lagi suntuk dan pengen sendirian. Disini cahaya senjanya bagus. Bikin nyaman,” ujar Angan,

“Terakhir aku bisa liat indahnya cahaya senja itu waktu kecil. Dulu aku suka banget sama senja. Warnanya biru keunguan dan sedikit jingga. Aku suka senja, karena senja itu adalah waktu aku lahir ke dunia. Makanya Ibuku ngasih namaku Senja,” ujar Senja, terlihat senyum pahit yng tersunging di bibirnya.

“Lu bukan tunanetra dari lahir?” tanya Angan.
“Bukan, aku kehilangan pengelihatan waktu umur delapan tahun.”
“Karena apa?”

“Dulu, didaerah kampungku ada sebuah perusahaan semen yang banyak menghasilkan limbah. Produksinya pun tak sesuai prosedur. Amdal dari perusahaannya juga tidak diperhitungkan. Semenjak itu, banyak warga yang terkena dampak dari limbah kimianya. Ada yang kehilangan pengelihatan, keterbelakangan mental, sampai meninggal dunia,” Senja menjelaskan.

“Terus gimana lu sampai bisa ke rumah singgahnya Ibun?”
“Ibun itu seorang aktivis dan sukerelawan sosial. Dia datang ke kampungku untuk memberi bantuan bagi warga dan membantu memperjuangkan hak kami sebagai warga untuk mendapat ganti rugi dari perusahaan tersebut atas dampak yang telah muncul. Aku bertemu Ibun saat umur sepuluh tahun, lalu Ibun membawa anak-anak yang kehilangan pengelihatan dan menderita keterbelakagan mental ke rumah singgahnya guna menjauhkan kami dari dampak produksi yang semakin buruk.”

Seketika suasana menjadi hening. Angan merasa nuraninya tersentuh atas cerita yang dituturkan oleh Senja. Hidup Senja tak semudah yang Angan lihat dengan mata kepalanya.

“Senja,” panggil Angan.
“Ya?”
“Mulai saat ini, Angan Tantra Dipura janji bakal membuat Senja didepan gua bisa ngeliat kembali indahnya cahaya senja,” ucap Angan sambil tersenyum.

Seribu Angan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang