Bab 3 : Devana dan Para Sahabatku

28 3 0
                                    

Kamu itu memang seperti Bulan, ya.
Yang hanya bisa kulihat di waktu tertentu.
Sekali nya ku melihat malah jadi candu.

--

     Sesampainya di Cafe XX, muka Dev lucu sekali. Sepertinya dia takut saat melihat sahabat-sahabatku.

     Dulu sewaktu jaman sekolah menengah pertama, aku sengaja memberi tahu sahabatku bahwa Dev pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Karena, yah, buatku sahabat itu adalah segalanya. Sahabat itu adalah kehidupan. Tanpa mereka aku tidak tahu apakah masih bisa bertahan atau tidak.

     Kalau kalian mau tahu, aku mmiliki 8 sahabat yang tetap setia sedari dulu. Mereka adalah Jovi, Vino (yang kuliah bersamaku), Stev, Fahri, Pierra, Riena, Yasmine, dan Cinta.

     Dari Jovi yang cuek dengan sekitarnya, tapi ku tahu dia sangat peduli dengan sahabat-sahabatnya.

     Vino yang ceria, selalu memberi saran ini-itu kepada para sahabatnya yang sedang bingung dan gelisah. Terutama aku. Dia yang paling bersemangat kalau mendengar nama Dev. Tidak, dia tidak menyukai Dev kok.

     Stev yang suka travelling. Kami juga sering travelling bersama. Tidak perlu menyewa guide. Karena keberadaan Stev sudahlah lebih dari cukup.

     Dan Fahri, yang sangat menyukai musik. Aku juga menyukai musik. Apalagi dipadukan dengan karya sastra. Kesukaan kami sama. Dan kami suka bertukar pikiran mengenai musik dan sastra. Bisa dibilang dia juga cerminan Rangga dari film Ada Apa Dengan Cinta. Kalian tahu 'kan?

     Eh tapi, lebih banyak yang setuju kalau aku yang jadi cerminan si Rangga sih. Tapi, emangnya cocok ya?

     Kalau yang perempuan, akan aku bahas yang pertama adalah Pierra. Menurutku Pierra merupakan sosok yang sempurna sebagai perempuan. Dia keibuan, dan selalu mengerti sahabat-sahabatnya. Walaupun kami tidak menjelaskan apapun itu, dia tetap paham. Dia bagaikan seorang saudara perempuan bagiku.

     Yang kedua, Riena. Riena itu tipe yang jahil. Humor nya juga bagus. Dia jago masak. Dan masakannya enak-enak. Kalau kalian lapar, minta saja dibuatkan makanan olehnya. Cukup sogok dengan membawa cokelat batang 1 ukuran kecil sudah cukup untuk mendapatkan nasi goreng dan telur dadar dan jika mau nambah juga bisa.

     Lalu Yasmine, dia merupakan typical perempuan alim. Yasmine dan Stev pernah saling memiliki rasa. Tapi itu tidak dilanjutkan. Aku tidak ingin menjelaskannya mengapa. Aku yakin pasti kalian sudah mengerti.

     Dan yang terakhir Cinta. Ah, bukan Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta, kok. Dia orangnya pendiem. Dan dia merupakan pendengar yang sangat baik.

     Itulah mengenai para sahabatku. Aku mengerti kalau Dev takut melihat sahabatku. Jika kalian mau tahu, sahabatku menyukai Dev, kok. Tapi Dev tidak mengetahuinya.

     Tapi aku suka sekali melihat ekspresi Dev kalau bertemu dengan para sahabatku. Lucu sekali. Mungkin dia berpikir sahabatku akan menerkamnya karena dia menyukaiku.

     Kali ini aku senang sekali karena kami semua berkumpul. Ditambah seorang Devana. Awalnya aku akan menghabiskan seharian ini bersama para sahabatku di Cafe ini. Tapi dengan adanya keberadaan Dev yang tiba-tiba saja muncul ketika di perpus dan ikut denganku, sepertinya aku tidak bisa menghabiskan waktu bersama para sahabatku.

     "Wah, Danendra kita akhirnya datang juga, ya!" Teriak Vino. Ah, dia memang seperti itu.

     Aku hanya tersenyum dan saling bertanya kabar kepada mereka.

"Gue duluan, ya." Ucapku. Ah, iya, aku kalau bersama mereka menggunakan lo-gue. Tidak masalah kan bagi kalian?

"Loh, kok cepet banget?" Tanya Riena.

"Yah, hemm" Aku hanya menggaruk tengkukku. Bingung harus menjawab apa.

     Lalu kulihat Pierra beranjak dari tempat duduknya, "Yaudah nggak apa kalau lo mau duluan. Lain kali kan bisa kumpul lagi."

Ah, dia memang keren. Selalu mengerti diriku.

     Dev hanya diam di belakangku. Mungkin dia bingung harus berbuat apa. Disaat itu juga Pierra menghampirinya dan tersenyum juga kepadanya.

"Dev sekarang kelas 12 kan?"

"Ehh, i-iya kakk."

"Wah udah mau ujian tuh, harus belajar yang giat supaya dapet Perguruan Tinggi yang bagus."

"Iya bener kak. Susah lagi pelajarannya! Aku sumeng."

     Aku cuma tersenyum melihatnya. Eh, kenapa? Tidak salahkan jika aku tersenyum?

"Semangat ya, Dev! Oh iya, yaudah kalau lo mau duluan. Hati-hati ya. Titip salam buat Bunda" ucapnya kemudian kepadaku.

   Aku tersenyum kepadanya sebagai tanda terima kasih. Aku ber-high-five kepada sahabat-sahabatku sebelum meninggalkan cafe ini.

     Kami berjalan menuju stasiun dalam keheningan. Kulihat Dev seperti menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.


"Tadi kamu takut?" Tanyaku

"Eh? Takut kenapa?" Jawabnya.

"Sahabat-sahabat saya. Dulu kan kamu takut kalau ada mereka" ucapku tanpa menengok kearahnya.

"Nggak kok hehehe" jawabnya sambil cengengesan.

"Oh baguslah."

      Dev lalu tersenyum kepadaku saat aku menengok kearahnya. Oh tidak. Jangan.

Dev, aku mohon. Jangan tersenyum seperti itu.

Tentang DevanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang