Bab 4 : Bersama Kak Dane

29 5 1
                                    

Jadi seperti ini.
Sebuah perasaan aneh,
Aneh seperti campuran sambal dan kopi.

Aku rindu..

Aku rindu pada sang pangeran
Yang selalu melintas dalam benak
Yang selalu terpikir,
dan tak dapat ditepis.

Angin pun tak dapat menerbangkan pikiran tentangnya,
Badai pun juga tak sanggup.

Jadi, aku harus bagaimana?

Apa aku harus menunggu lagi?

Aku tidak kuat.

--

Kami berjalan menuju stasiun dalam keheningan. Aku menggigit bibir bawahku. "

"Tadi kamu takut?" Tanyanya.

"Eh? Takut kenapa?" Jawabku.

"Sahabat-sahabat saya. Dulu kan kamu takut kalau ada mereka" ucapnya tanpa menengok kearahku.

"Nggak kok hehehe" jawabku sambil cengengesan.

Stasiun sudah terlihat didepan mata, aku membeli kartu kereta dahulu karena aku belum punya. Setelah itu kami berdua menunggu di sebuah kursi di peron 1.

Aku duduk di sebelah Kak Dane dengan canggung. Tapi aku memberanikan diri untuk mengobrol dengannya.

"Kenapa kalau sama saya manggilnya 'saya-kamu'? Kenapa nggak 'lo-gue' aja?" Ucapku spontan.

Kak Dane sepertinya agak kaget lalu menatapku, "kenapa emangnya?"

"Ya, bingung aja. Sama yang lain, mau itu temen atau adek kelas, Kak Dane pasti 'lo-gue' an sama mereka. Tapi klo sama saya pasti 'saya-kamu' "

"Kata siapa?" Ucapnya datar lalu meneguk air mineral yang dibawanya.

"Y-ya ya menurut saya aja sih" ujarku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Kak Dane mengusap tengkuk kepalanya, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang. Lalu ia menyilangkan tangannya di depan dadanya.

Lalu ia menatapku.

Oh tidak.

Jantungku berdegup kencang!

"Kamu tau kenapa saya nggak pernah ngasih kepastian ke kamu dari dulu?" Ucapnya tiba tiba.

"E-ehh eh. Kalo itumah gaperlu dibahas. Udah pasti Kak Dane nggak akan kasih tahu tentang hal itu lah! Hahaha " jawabku sambil tertawa tidak jelas. Tapi aku gugup.

"Saya tau kamu kesal sama saya"

Aku terdiam. Iya, aku memang kesal dengannya. Mencintai seseorang selama 5 tahun tanpa mendapat balasan itu sakit rasanya.

"Saya suka sama kakak dari kelas 7. Waktu kakak masuk SMA, saya pernah suka ama teman saya. Tapi ujung-ujungnya suka ke kakak lagi. Trus pas masuk SMA, saya juga pernah suka sama teman saya. Tapi hal yang sama berulang lagi. Saya mencoba untuk buka hati saya ke orang lain. Tapi ternyata nihil. Saya nggak bisa" ucapku sambil meremas jariku.

"Saya tahu"

"Hah? O-oh, y-ya ya" ucapku bingung mau berkata apa.

"Ada orang bilang sama saya, jangan sia-siain orang kayak kamu"

Aku hanya memandangnya kaget.

"Saya memberontak. Ya, itu sahabat saya yang bilang begitu. Dulu kamu terlalu over, dan saya nggak suka"

Aku hanya menunduk.

"Tapi saya juga nggak bisa bohong"
Ucapnya kembali menatapku.

"Bohong kenapa?" Tanyaku penasaran.

Kak Dane terdiam. "Kereta nya sudah datang, ayo pulang."

Eh, tidak dilanjutkan lagi? Setelah itu aku tidak berkata lagi. Aku bingung harus berbuat apa. Aku ingin menumpahkan semuanya sekarang. Aku tidak kuat lagi menunggunya. Dia sebenarnya ada rasa tidak sih? Dadaku sesak hanya karena memikirkannya.

Aku menghela napas dan kembali tersenyum. Tanpa kusadari, Kak Dane menggenggam tanganku saat berjalan masuk ke kereta. Entah dia sadar atau tidak. Dan sekarang, senyumku tambah merekah.

SEMANGAT, DEV! Ucapku dalam hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang DevanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang