Kartini, Aku akan membicarakan tentang suatu keajaiban, namun terhina oleh suatu keegoisan.
Tentang seorang wanita.
Wanita ;
Sebuah deskripsi dari konsep keindahan yang diperpadukan oleh tuhan. Tuhan sedang berbelas kasih, kala menciptakan wanita untuk Adam yang menggigil terdekap sepi.
Sebuah kolaborasi dari semua kompleksitas yang tak terbatas. Karena dalam sanubari seorang bidadari, ada ratusan pinta yang diingini, namun hanya satu yang tercuap keluar ke alam duniawi.
Sebuah jiwa dengan ratus pertanyaan akan sebuah status keindahan.
Sebuah diri yang ingin dipuji, agar terbang tinggi untuk dijemput, dipeluk, dan disayangi.
Aurat diumbar, dada dipugar, gigi dipagar, demi sebuah sesumbar, "Ah, cantikmu memang nyata, bukan hanya sesiar kabar."
Jutaan digelontorkan, rintihan pintaan diperadukan, kepada bapak yang bercangkul di ladang, dan emak yang berpeluh di tungku perapian.
Alis dipintal, bibir disulam. Oh malang nian nasib bapak di ladang, peluhnya untuk keluarga, terbuang sia-sia kala Hawa mengejar status modern di tengah desa.
Paha dipampang, betis disingkap.
Payudara dipajang, perut kurus disulap.
Datang sepasang pria untuk menggoda.
Disambut senyum mesra agar dipuja.
Kepada puan yang mengharapkan pujian ;
Hidup tak cuma soal kata orang.
Hidup tak cuma soal mengejar keindahan.
Hidup tak cuma soal pemugaran badan.
Hidup tak cuma soal kencan, yang berakhir di suatu ranjang, berbuah tangis karena strip merah dua terpampang di penglihatan.
Hidup tak cuma soal status modernis.
Hidup tak cuma soal cercaan berujung tangis.
Hidup tak cuma soal pria bertuxedo necis, yang bermulut manis, demi nafsu ingin mengais sepasang payudara dan sebongkah pantat seksi nan eksotis.
Hanya demi hal diatas, kau rela menembus batas.
Bapak emak dieksploitasi, demi pemugaran diri, yang ujungnya hanya untuk dinikmati.
Lalu Kartini
Tak mengharap puji.
Tak bertuai puja.
Kartini menyuguhkan inspirasi.
Membangkitkan seonggok jiwa ;
Wanita.
Kau kah kartini hari ini?
Atau yang disebut kartini masa kini?
Kartini memperadabkan wanita.
Membebaskan kehendak berbungkus emansipasi.
Jika kau masih bersolek ria mengharap tunai puja.
Bakh, jangan harap kau dipuji layaknya kartini, apalagi menginspirasi.
Kepada Puan yang pergi pagi pulang pagi ;
Ada berapa bapak emak yang kau punya?
Hingga lelah dan peluhnya, tak ada harga?
Ada berapa bapak emak yang kau pekerjakan?
Hingga jutaan berani kau pinta untuk digelontorkan?
Kepada Puan yang berharap bertuai pujian ;
Gabah bapak menunggu dikeringkan.
Tungku emak menanti dihidupkan.
Sampai kapan kau akan jalan-jalan?
Mengumbar sebuah badan, menyulut nafsu keperjakaan.
Tubuhmu akan renta, indahmu akan sirna.
Payudaramu akan peyot, pantatmu akan melorot.
Pulanglah, bapak emak menunggu dirumah.
Kebahagiaanmu terletak disana.
Bersyukurlah.
Karena aku harus pulang ke pemakaman.
Kala Idul Fitri menyambut hari kemenangan.
Karena dirumah, ibu hanya menjadi kenangan.
Ciputat, 31 Maret 2017
YOU ARE READING
Wanita-wanita dalam Sesat Modernisasi
PoesíaBegitulah wanita, kadang terlalu sibuk dengan dunia, hingga tidak sadar bahwa dirinya sedang tersesat dalam modernisasi yang kian memabukkan. Dan lupa, bahwa dunia itu fana.