Aku duduk di sudut cafe langgananku ini. Tempat ini adalah tempat favoritku tiap mengunjungi cafe ini. Dari sini aku bisa melihat langsung siapa yang keluar dan masuk dari pintu utama cafe.
Bodohnya aku. Berharap dia datang dari arah pintu laknat itu. Padahal aku tau, dia tak akan pernah datang lagi ke sini dengan senyum khasnya itu. Senyum yang selalu ku rindukan, walau kadang bisa menjadi menyebalkan saat ia sedang merayuku dengan senyumannya itu. Ah, sepertinya aku sudah berada pada level rindu akut.
Dengan berat aku menghela napas panjang dan mulai menyesap pelan latté yang masih mengepul. Setelah menikmati hangatnya kopi yang mengalir di kerongkongan aku kembali pada aktivitas semula--menatap ke arah pintu.
Mataku melotot lebar ketika melihat dia ada di sana. Ya, dia! Dia yang selalu mengisi hari-hariku beberapa tahun silam.
Dengan santai ia berjalan ke arahku--tepatnya menghampiriku--yang masih mematung. Lidahku kelu kala ingin menyebut namanya.
Rasanya seperti mimpi ketika ia duduk di hadapan ku tanpa berkata apapun. Bahkan menyapaku pun tidak! Hei, dia ini rindu atau tidak, sih, padaku?
Kami masih saling terdiam ketika ia beranjak ke sampingku. Dengan cepat ia memeluk tubuhku. Aku yang masih mencerna semuanya tidak mampu membalas pelukan hangatnya.
Tiba-tiba setetes cairan hangat keluar dari ujung mataku. Sialan! Aku menangis.
Dua tetes...
Tiga tetes...
Empat tetes...
Hingga akhirnya air mata tersebut sudah membuat sungai di wajahku. Ia mengusap punggungku, berusaha menenangkanku yang sudah menangis sesenggukan di pelukannya. Aku berusaha melonggarkan pelukannya dan memukul-mukul dadanya yang bidang.
"Ssh... No, honey. Stop it!" Ia menangkap kedua pergelangan tanganku yang masih memukul dadanya. "Don't you miss me?" Ia menatapku dalam.
Aku mengalihkan pandangan darinya. Tak ingin perasaanku saat ini terbaca olehnya. Dia memang orang yang paling susah kubohongi setelah Mama. Dengan hanya menatap mataku saja ia tau jika aku sedang menyembunyikan sesuatu.
"Untuk apa aku merindukanmu? Pria sepertimu tak pantas untukku rindukan. You aren't my bestfriend anymore!" Aku mengeluarkan emosi yang kupendam sejak dua tahun belakangan.
"Aku memang bukan sahabatmu lagi. Tapi aku sudah berubah status dari sahabat menjadi seorang suami. Imammu."
"Cih. Mana ada seorang suami yang meninggalkan istrinya merantau ke luar negeri tanpa memberi kabar sedikit pun selama dua tahun? Bahkan untuk tau keadaannya saja sang istri harus bertanya pada mertua atau kakak dan adik iparnya." Jelasku panjang lebar. Aku berusaha mengatur napasku yang naik turun.
Ia harusnya mengerti perasaanku selama dua tahun ini. Tapi mungkin ia terlalu brengsek hingga tak dapat mengerti diriku.
Ia terdiam. Matanya menatap lurus ke arahku dengan pandangan tajam. Aku kembali duduk ke tempatku semula. Tak menghiraukan dirinya yang masih memandangiku.
"Serius kamu nggak kangen sama aku?" Suaranya melembut dan berubah menjadi seperti biasa. Tidak ada bahasa baku yang menandakan ia akan merayuku agar tak marah padanya.
Aku tetap diam dan tidak menatapnya. Ia menggeserku hingga mendapat tempat di sofa yang berkapasitas dua orang ini. "Nggak baik loh kalo marah sama suami. Apalagi sampe nggak mau liat suaminya."
APA?!
Setelah sekian lama ia meninggalkanku ke negeri antah-berantah selama dua tahun--tanpa memberi kabar--ia bilang aku tidak berhak untuk marah padanya? Emosiku yang sudah turun kembali naik ke ubun-ubun. Ingin sekali kujambak rambutnya itu!
Dengan emosi aku menjambak rambutnya seperti keinginanku tadi. Ini memang sudah biasa aku lakukan sejak kami masih SMA. Dengan senang hati aku akan menjambak rambutnya jika ia membuatku kesal.
Dia merintih kesakitan dan memohon ampun agar aku berhenti. Hah, jangan harap! Aku kembali menjambaknya, bahkan semakin kencang hingga ia menjerit dan orang-orang mulai memperhatikan tingkah kami yang kekanakan. Aku segera melepaskan tanganku dari rambutnya.
"I hate you!" Ucapku.
Ia tersenyum seraya mengusap kepalanya yang menjadi korbanku. "But I love you more than you know."
Aku mendengus mendengar gombalannya itu. Jujur aku masih ingin menangis dan memeluknya. Menumpahkan segala kekesalanku padanya.
Aku kembali menyesap latté untuk menenangkan perasaanku yang bercampur aduk. "Kamu kemana aja?" Aku mulai bertanya setelah tenang.
Dia merangkulku hangat dan menyenderkan kepalaku ke bahunya. "To a city that you wonder you can visit it."
"What?" Aku malas jika ia mulai berteka-teki seperti ini.
"Guess it, hon..."
"Males."
Dia tertawa mendengar jawabanku. Setelah mendaratkan kecupan lembut di dahi ia mulai bercerita. "Aku ke NYC. Kerja di sana biar bisa berikan yang terbaik untuk kamu dan calon anak-anak kita."
"WHAT--?!" Dia membekapku hingga aku kesulitan bernapas. Setelah memerintahkanku untuk diam sampai ia mengizinkan ku membuka suara ia baru melepaskan bekapan mautnya.
"Kalo kamu berpikir aku nggak mikirin kamu yang ditinggal tanpa kabar selama dua tahun ini, kamu salah. Aku selalu mikirin perasaan kamu saat memutuskan untuk menerima job di sana. Di sisi lain hatiku menolak untuk pergi. Aku ingin jadi suami yang bertanggung jawab, tapi aku juga ingin kehidupan yang lebih baik untuk kamu dan anak-anak kita nanti."
Aku sudah tidak sabar untuk tidak melontarkan pertanyaan padanya. "Terus kenapa kamu nggak pernah mau hubungin aku dari NYC?"
"Soal itu..." Dia tampak terlihat berpikir sebentar. "Itu ide Mamamu dan Mamaku. Mereka sebagai generasi tua khawatir melihat kamu yang di luar keliatannya cuek sama aku. That's why they told me to keep it secret. Mereka yang memberikan titah padaku untuk tidak menghubungi kamu selama di NYC. Mereka hanya mengizinkanku untuk menelpon generasi tua atau generasi muda di keluarga kita kecuali kamu."
"Mereka pengen tau sampe mana kepedulian kamu ke aku dan bagaimana reaksimu saat tau tidak mendapat kabar langsung dariku, tidak berbicara langsung denganku. Dan ternyata mereka berhasil. Mereka bilang tiap hari kamu selalu nanyain aku. Dan pertanyaan kamu selalu sama, 'Dio ada dimana sih, Ma?' 'Dio kapan pulang?' 'Dio kok nggak pernah kabarin aku?' Dan masih banyak lagi yang mereka kasih tau ke aku. Dan kamu harus tau satu hal, semua pertanyaan kamu yang disebutin Mama selalu menambah rasa kangen aku ke kamu. Ide para orang tua itu benar-benar menyiksaku selama di NYC. Mereka tidak tau seberapa besar rinduku padamu, Sayang. So, is it clear, Maharani?"
Aku menatapnya tanpa kedip. Jadi selama ini para generasi tua di keluarga kami bersekongkol untuk menyiksaku? Betapa teganya mereka membiarkanku menuduh suamiku yang tidak-tidak selama dua tahun ini. Ya Allah, ampunilah hambaMu ini.
Dio meraih gelas lattéku dan meminum isinya. Sepertinya ia kehausan setelah bercerita panjang lebar. Dengan sigap aku memanggil salah satu pelayan dan memesankan minuman beserta bacon untuk kami berdua.
"Kamu masih marah?" Dio, sahabatku semenjak SMA yang kini sudah berubah status menjadi imamku menatapku dalam.
Aku menghela napas. Menyerah. "Kamu tau dari dulu aku selalu susah marah lama-lama ke kamu. Aku nyerah, aku emang nggak pernah menang dari kamu." Aku mengangkat kedua tanganku sebatas dada. Sementara Dio tersenyum bangga.
"Good girl." Dan ia mencium puncak kepalaku lembut.
Sampai kapan pun cuma kamu yang bisa menang dari aku, Dio. Kamu yang berhasil memenangkan hati, pikiran, dan seluruh jiwaku.
You'll always be my baby, my bestfriend.
Friday, 23rd May 2014 9:57 PM
Created by,
auliaravina