Istana Pasir

19 0 0
                                    

Bocah itu memasuki kawasan pantai sambil bergandengan dengan ayahnya. Selama perjalanan dari rumah neneknya, bocah itu tak henti-hentinya mengoceh tentang indahnya pantai yang ia kunjungi dua tahun sebelumnya.

"Papa, aku mau bikin istana pasir di sana!" Pintanya kepada sang ayah yang sedang mengendarai mobil. Sang ayah hanya mengangguk sambil tertawa kecil sebagai jawaban. Bocah itu menambahkan, "ibu guru bilang kita bisa main air sebelum matahari di atas kepala. Nanti kita main air ya, Pa?"

Mata bocah itu berbinar penuh harap menunggu jawaban yang ia inginkan. Wajah lucunya ia tampilkan supaya sang ayah luluh.

"Hmm...," sang ayah berpura-pura berpikir sejenak.

"Please, Papa." Bocah itu memohon lagi.

"Okay!" Jawaban sang ayah berhasil membuat bocah itu menjerit kegirangan.

Kini perasaan gembira yang ia rasakan sejak bangun subuh tadi karena akan diajak ke pantai yang sama surut. Perasaan itu turun ke titik terendah ketika melihat pantai yang sepi pengunjung. Bahkan semangat untuk membuat istana pasir hilang melihat wajah pantai yang tidak sebersih dulu.

Langkah keduanya terhenti di bibir pantai. Air laut menyapa kedua pasang kaki telanjang tersebut. Bocah itu mengalihkan pandangan dari pantai ke ayahnya.

"Papa, can I make a castle here?"

Sang ayah menyapukan pandangannya ke seluruh sudut. Tak banyak orang yang ada di sana. Hanya ada pria tua yang membawa karung besar dan sibuk memunguti sampah-sampah di pantai yang luas ini, keluarga kecil yang sedang bersiap-siap pergi dari sini, dan sepasang muda-mudi yang berjalan menyusuri bibir pantai. Ada juga seorang ibu yang sedang berjualan otak-otak ikan di pinggir pantai. Pandangan ibu tersebut menerawang ke arah lautan. Seperti berharap pantai ini ramai kembali.

"No, honey," ayahnya menjawab setelah puas menyusuri sisi pantai dengan matanya.

Bocah tersebut tidak menjawab apapun, hanya menundukan kepala setelah mendengar jawaban ayahnya. Sang ayah yang melihat reaksi tersebut tersenyum kecil dan berjongkok di samping putranya.

"Listen, Papa punya kegiatan yang lebih seru daripada membuat istana pasir." Jelasnya ketika sang putra mengalihkan pandangan dari ombak.

"Apa itu, Papa?"

"Kamu lihat bapak yang sedang memunguti sampah di sana?" Ayahnya menunjuk ke sisi kanan si bocah. Bocah itu mengangguk sambil mengamati kegiatan kakek tersebut.

"Kamu lihat pantai yang sepi? Tidak seramai dulu?" Bocah itu mengangguk lagi dan seperti sudah memahami maksud ayahnya, ia tersenyum lebar.

"Papa mau ajak aku bantuin kakek itu?"

"BINGO! Istana pasir kamu tidak akan cantik jika dikelilingi sampah-sampah ini," sang ayah menjelaskan sambil tersenyum.

"Let's go, Papa!" Semangat bocah tersebut kembali setelah mendengarkan kalimat sang ayah. Ia menarik-narik tangan sang ayah dan mereka berjalan menghampiri pria tua tadi.

Beberapa hari setelahnya, tidak hanya mereka bertiga yang membersihkan sampah-sampah tersebut. Turis asing yang datang berkunjung, muda-mudi, dan rombongan keluarga yang awalnya ingin piknik di sana juga ikut bergotong royong membersihkan pantai tersebut. Kini, ibu penjual otak-otak tersebut bisa tersenyum lagi karena banyak orang yang membeli dagangannya selepas membersihkan pantai.

Istana pasir bocah tersebut pun terlihat indah setelahnya.

***

Cilegon, 23 Januari 2019
Ravina Aulia

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The TitleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang