Future Guy

266 13 0
                                    

Ting!

"Wilkommen!" [Selamat datang!]

Aku tersenyum kepada pelayan yang menyambutku dengan sumringah. Seraya memperhatikan sekeliling, kakiku melangkah menuju meja di sudut kedai yang menjadi tempat favoritku. Tidak seperti biasanya, kedai kopi ini sepi pengunjung.

Seorang pelayan pria menghampiriku dengan senyum lebarnya. "Was möchten Sie tun?" [Pesan apa, Nona?]

"Hot moccacino, bitte!" [Hot moccacino, ya!]

"Sonst noch was?" [Ada lagi?]

Aku menggeleng seraya tersenyum. "Nein, das ist es." [Tidak, itu saja.]

"Okay, bitte warten Sie." [Baiklah, mohon ditunggu.]

Pandanganku menelusuri penjuru kedai kopi seraya melepaskan mantel hangat yang masih melingkupi tubuhku. Di luar salju mulai melapisi kota Berlin namun tidak lebat. Sepertinya aku harus bertahan lebih lama di dalam kedai ini. Pandanganku terhenti pada seorang pria berperawakan tinggi dan atletis yang berada di luar pintu utama. Ia memasuki kedai dengan terburu-buru, bahkan sapaan seorang pelayan wanita yang sedang membersihkan meja di dekat pintu tidak ia hiraukan.

Matanya menyapu isi kedai ini dan berhenti padaku. Aku bisa melihat senyum puas terkembang di wajahnya walaupun hanya sebentar. Dengan langkah yang lebih tenang namun pasti, ia menuju ke tempatku. Pria yang kutebak berumur 5 tahun lebih tua dariku ini menarik kursi kosong di hadapanku tanpa izin. Kami saling bertatapan dalam diam hingga seorang pelayan datang mengantarkan pesananku.

"Sie genießen!" Sang pelayang beralih memandang pria di hadapanku, "Sie möchten die Botschaft als auch, Sir?" [Selamat menikmati!] [Anda ingin pesan juga, Tuan?]

Lelaki tersebut mengernyit heran. Ia berpikir sebentar sebelum menganggukan kepalanya dan tersenyum. "Iced cappuccino, please!" Alisku terangkat tinggi mendengar pesanannya. Iced cappuccino for a snow day, sounds great.

Ganti si pelayan yang mengernyit bingung seraya memandangku. Aku tersenyum maklum pada si pelayan, "Er wollte vereist Cappuccino." Dan pelayan tersebut mengangguk sopan sebelum pergi. [Dia ingin iced cappuccino.]

Keheningan kembali menyelimuti kami. Aku berdehem dan menyeruput minumanku saat pria tinggi ini membuka suara, "Apa kabar?" Suara beratnya mendominasi indra pendengaranku, mengantarkan perasaan aneh yang membuat jantungku bertalu-talu.

Keningku terlipat menjadi beberapa bagian. "Excuse me, do we know each other?" Instingku mengatakan pria ini mengetahui sesuatu tentangku dan aku harus waspada.

"Absolutely, yes. Beberapa tahun yang akan datang."

"Maksudmu?"

"Ya, kita saling mengenal di masa depan." Ucapnya dengan suara datar.

"Siapa kau?"

"Aku Taron. Hanya itu yang perlu kau ketahui untuk saat ini. Bila kau ingin mengenalku lebih jauh lagi, batalkan penerbanganmu ke Tokyo minggu depan. Ada seseorang yang mengincar nyawamu saat ini. Bersembunyilah." Pria yang mengaku bernama Taron ini menjelaskan hal yang tidak kumengerti.

"Jangan mengada-"

"Aku tidak mengada-ada." Nada suaranya naik satu oktaf namun wajahnya tetap datar. "Kemasi barang-barangmu sekarang juga dan pergi dari negara ini. Tapi jangan katakan pada siapa pun kalau kau pergi."

The TitleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang