Doa

38 1 3
                                    

Kembali ke 31 Desember 2013

Suasana duka menyelimuti sebuah kamar rumah sakit malam itu. Giae memeluk erat ibunya yang menangis tersedu-sedu. Bahkan sesekali dia pun berusaha menenangkan ayahnya yang terisak. Malam  itu, adiknya menghembuskan napas terakhir setelah selama tiga tahun terakhir menderita penyakit gagal ginjal kronis.

Kepergian adiknya menjadi pukulan berat untuk keluarga Giae, mengingat usianya yang masih sangat muda yaitu 6 tahun. Meski adiknya bukan anak laki-laki satu-satunya, tapi orangtua Giae sangat menyayanginya dan menganggapnya sebagai pengganti kakak laki-lakinya yang sekarang bekerja di Jepang.

Begitupun dengan Giae, dia sangat menyayanginya bahkan semenjak adiknya masih dalam kandungan. Dibandingkan ayahnya, mungkin Giae yang justru lebih sering mengajak adiknya bicara sambil mengelus-ngelus perut ibunya.

Sedari tadi Daniel memperhatikan Giae, dia merasa khawatir akan keadaan Giae. Dia tahu bagaimana terpukulnya Giae, namun Giae tetap berusaha terlihat tegar untuk kedua orangtuanya. Giae mungkin termasuk tipe gadis yang pintar menyembunyikan air matanya. Dia akan memilih menangis sendirian untuk meluapkan kesedihannya. Seperti saat pertama kali Giae melihat adiknya dicuci darah, Daniel menemukan dia sedang menangis sendirian di tangga darurat rumah sakit.

Namun malam ini, bagi Daniel, Giae terlalu tenang namun begitu kosong. Entah mengapa, saat itu, bagi Daniel lebih baik melihat sahabatnya itu menangis meraung-raung, menangisi kehilangan adiknya. Karena bagi Daniel tidak semua yang terlihat baik itu baik-baik saja. Dan justru itu yang menakutkan. 

Keluarga Giae memutuskan untuk menunggu waktu mengkremasi adiknya sampai kakak Giae datang dari Jepang. Mereka ingin kakaknya melihat adik bungsunya untuk terakhir kalinya.

Daniel sedang mengangkat telepon ketika melihat Giae berjalan memasuki lift. Tiba-tiba dia mendapatkan firasat buruk. Daniel bergegas mengejar Giae, namun pintu lift sudah tertutup. Dia melihat lift tersebut menuju atap rumah sakit, tanpa pikir panjang Daniel berlari melewati tangga menuju atap.

Dengan terengah-engah Daniel membuka pintu atap dan melihat Giae sedang berdiri mematung. Entah apa yang ada dipikiran Song Giae, dia hanya menatap lurus ke depan.

Daniel berdiri mensejajarkan dirinya dengan Giae. Mereka hanya berdiri diam untuk beberapa lama.

“Menangis memang tidak bisa mengubah keadaan Giae ya, tapi menangis membuat hatimu merasa lebih baik. Jadi tak apa... menangislah!” Ucap Daniel memecah keheningan.

Tidak ada respon apapun dari Giae. Giae tetap melihat lurus menatap sebagian kota Seoul dari tempat dia berdiri, atau menatap langit yang gelap? Entahlah. Daniel hanya menatap lekat gadis itu, mencari jawaban apa yang sedang dipikirkannya.

“Untuk beberapa saat, kau membuatku  takut. Aku pikir..... seorang Song Giae yang rasional akan melakukan hal yang irasional.” Daniel menyunggingkan bibirnya. “Giae ya, jika itu terlalu berat dan menyesakkan, kau bisa membaginya denganku. Tak apa untuk berbagi dan bersandar pada orang lain. Menangis bukanlah sebuah kelemahan.”

Daniel maju satu langkah ke depan Giae, memunggunginya. “Atau kau terlalu malu untuk menangis di depanku? Kalau begitu aku akan meminjamkan punggungku. Di sini.... menangislah.. sepuasmu..” Kata Daniel sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Giae menatap punggung Daniel, dan kemudian menjatuhkan kepalanya. “Niel........ kata orang, orang yang sudah meninggal akan pergi ke langit dan berubah menjadi bintang-bintang. Tapi, tidak ada bintang di langit malam ini, Niel... Lantas kemana perginya adikku?” lirihnya.

“Aku... merasa... sangat ja... hat...” kata Giae terbata-bata. Daniel diam, menunggu Giae melanjutkan kata-katanya. “Entah mengapa aku merasa sedikit bahagia dengan kepergian adikku. Aku pikir, aku tidak perlu melihatnya merasakan kesakitan lagi dan tidak perlu melihat orangtuaku berharap harapan kosong. Melihatnya hari demi hari menahan rasa sakit dan bertahan hidup dengan obat-obatan yang dia minum, hatiku merasa sakit dan kasihan, hingga kadang aku berdoa agar Tuhan mengakhiri penderitaan adikku. Tapi.......” Giae sudah tak sanggup melanjutkan kata-katanya dan mulai terisak.

“Tapi melihat orangtuaku begitu kehilangan, aku merasa sangat jahat karena Tuhan mendengar dan mengabulkan doaku.” Giae sudah tidak dapat membendung air matanya lagi dan akhirnya menumpahkan seluruh air matanya. Dia menangis dengan kencang.

Daniel memutar badannya dan memeluk tubuh kecil gadis itu. “Tak apa... tak apa Giae ya... ini bukan kesalahanmu, tapi takdir dari Tuhan.” Kata Daniel dengan lembut sembari mengelus rambut Song Giae. “Aku yakin adikmu sudah bahagia di tempat yang lain. Mungkin tidak ada bintang di langit malam ini. Tapi adikmu pergi bersama kembang api yang menyala-nyala di atas langit.” Daniel menengadahkan kepalanya.

Tangisan Song Giae pun diiringi dengan suara kembang api pergantian tahun.

My FireworksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang