Chapter 2

422 6 3
                                    

Sophie membuka oven dan seketika itu juga aroma almond langsung menyerbu masuk ke dalam indera penciumannya. Sophie menghirup napas dalam-dalam seolah ingin benar-benar menikmati aroma macarons buatannya. Sudah merupakan suatu kewajiban baginya untuk memasak sendiri bagi kedainya. Sebenarnya ia sendiri bisa membiarkan karyawannya saja yang mengerjakan, tetapi ia tetap ingin memasak—setidaknya satu baki berkapasitas 30 pasang macarons—untuk kedainya sendiri.

     Sophie mengeluarkan baki berisi macarons beragam warna itu. Ia menarik kertas perkamen—yang mengalas macarons—secara perlahan dari baki dan meletakkannya di atas meja untuk proses pendinginan macarons. Setelah beberapa menit, ia mulai mengetes kematangan macaronsnya. Terangkat dengan mudah dari kertas, dasar macarons rata, puncaknya tidak kenyal saat disentuh. Macaronsnya sudah matang sempurna.

     Begitu Sophie merasa waktunya sudah cukup, dengan mata berbinar Sophie mengambil macarons yang telah dites kematangannya tadi. Setelah itu ia menyemprotkan ganache ke atas bagian yang nantinya menjadi bagian tengah macarons dengan menekan pastry bag. Sophie mengambil satu lagi macarons yang sewarna dan menangkup kedua bagian macarons itu hingga ganache di dalamnya tersebar sempurna sebagai filling macarons itu sendiri.

     Lidahnya sudah tidak sabar untuk mencicipi macaronsnya itu. Sophie mulai menggigit kecil macarons yang tadi sudah diisi dengan ganache di dalamnya. Dalam sekejap macarons itu ‘meledak’ di mulutnya dan rasa cokelat dari ganache terasa memenuhi seisi mulutnya. Tak lupa juga rasa almond dan sedikit sensasi dingin. Kenikmatan dari macaronsnya membuat Sophie bergumam sambil tersenyum lebar.

    “Gabrielle, lanjutkan.” Sophie memerintah salah satu karyawannya untuk melanjutkan proses pembuatan dari macarons yang telah dibuat oleh Sophie sebelumnya. Dengan cepat gadis berambut kemerahan itu, Gabrielle, melakukan tugasnya sementara Sophie menghabiskan macarons di tangannya.

     Sophie pun kembali ke ruang kerjanya di lantai tiga. Begitu ia membuka pintu ruangannya, matanya langsung menangkap setumpuk kertas di samping vas bunga di atas meja kerjanya. Sophie baru saja duduk ketika ia mendengar suara ketukan di pintu.

     “Ini aku Hellena,” kata orang yang tadi mengetuk pintu ruang kerja Sophie yang ternyata merupakan Hellena. Tak perlu menunggu lama, Hellena langsung muncul di hadapan Sophie.

     Sophie mengamati temannya itu dengan kening sedikit berkerut. Hanya sekali lihat saja Sophie langsung tahu kalau ada sesuatu yang membuat mata hijau Hellena memancarkan sorot kecemasan. Gerak-geriknya menandakan ada sesuatu yang mendesak yang harus dikatakannya pada Sophie.

     Merasa Hellena belum akan bersuara, Sophie lebih dahulu membuka percakapan. “Ada apa kawan? Bukankah kau seharusnya sedang kerja? Aku tidak akan pandang bulu dalam memperlakukan karyawanku. Meskipun kau adalah sahabat terdekatku. Bagaimanapun juga kau yang meminta—“

     “—aku yang meminta pekerjaan ini dan seharusnya aku tidak bersantai melainkan bekerja keras kalau tidak mau gajiku dipotong,” sela Hellena dan langsung melanjutkan kata-kata Sophie sebelum Sophie menyelesaikan kalimat terakhirnya.

     Sophie hanya dapat terkekeh pelan melihat Hellena yang sudah hafal dengan baik perkataan Sophie. Sebenarnya Sophie sendiri tidak pernah begitu serius dengan kata-katanya mengenai gaji yang dipotong. Hellena sendiri sebenarnya memiliki pengaruh besar dalam masa perintisan bisnis Sophie. Awalnya Sophie menawarkan posisi tinggi pada Hellena, tetapi gadis itu meminta untuk menjadi penjaga kasir saja—agar dapat melirik setiap pengunjung yang menarik pikirnya, gadis aneh.

     Hellena sudah duduk di hadapan Sophie saat ia mulai bercerita.

     “Orang itu datang lagi, Sophie,” kata Hellena.

Macarons and the LoversTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang