Hari yang melelahkan.
Pierre terduduk di sofa empuknya dan membiarkan kepalanya tersandar pada dinding kamar tidurnya. Ia memejamkan matanya, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Hanya ingin beristirahat sebentar setelah sehari yang penuh kegiatan.
Dimulai dari konferensi pers yang memakan waktu cukup lama. Menjawab satu per satu pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan ternyata tidak mudah juga. Apalagi jika pertanyaan yang diajukan mulai sedikit menyeleweng. Yang terburuk adalah pertanyaan yang berusaha untuk mencari keburukan film yang digarapnya. Agak susah-gampang bagi Pierre menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu sampai wartawan-wartawan tersebut mendapatkan jawaban yang benar-benar membuat mereka puas. Untung saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan hanya untuk Pierre. Jika tidak, bisa saja ia pingsan karena kewalahan menanggapi beberapa wartawan yang terkesan tidak puas dengan jawabannya.
Dilanjut sorenya Pierre harus menghadiri pestanya sendiri—pesta perayaan kemenangan filmnya di Festifal Film Cannes minggu lalu. Pesta yang benar-benar menguras energinya dari sore sampai malam. Ia harus tetap berdiri sepanjang waktu, tersenyum, dan menyalami setiap tamu. Bahkan banyak dari tamu yang datang sudah dilupakannya siapa mereka. Mau tidak mau Stephan Durand, sepupunya, yang—kalau orang bilang—asisten pribadinya itu harus mengingat dengan baik setiap tamu yang hadir.
Tentang Stephan, sebenarnya Pierre tidak pernah menganggap dia sebagai asisten pribadinya. Stephan memang selalu hadir dalam setiap pesta penting yang dihadiri oleh Pierre. Selain berguna sebagai “pengingat”—ingatannya sangat kuat—Stephan juga bisa menjadi teman mengobrol yang baik dikala Pierre mencapai titik terbosannya.
Hampir saja Pierre terlelap. Tetapi dengan sekali sentakkan Pierre membuka matanya saat pintu kamarnya menjeblak terbuka secara tiba-tiba. Kedamaiannya pun sirna dalam sesaat.
Samar-samar Pierre menangkap sosok laki-laki berambut kemerahan memasuki kamarnya. Dengan malas Pierre langsung menutup matanya lagi. Ia sedang tidak ingin mendengar apapun celotehan dari Stephan.
“Hei, kau tidur saja bisanya. Aku baru saja ingin memintamu untuk memperkenalkanku dengan aktris pemeran utama filmmu. Dia cantik, kau tahu? Aku ingin berkenalan dengannya, hanya saja aku sedikit malu,” curhat Stephan.
Sudah tertebak. Stephan pasti akan mengungkit hal itu lagi.
Bukannya jahat terhadap saudaranya sendiri, Pierre hanya tidak begitu suka dengan orang yang dimaksud oleh Stephan itu. Gadis angkuh, pikir Pierre. Kalau bukan karena totalitasnya dalam berakting, ia segan untuk memilih orang itu.
“Kau mendengarkanku tidak?” tanya Stephan sambil mengguncang tangan kanan Pierre.
Pierre menggelengkan kepalanya dan tersenyum menyeringai.
Sedetik kemudian Pierre merasa Stephan yang sedari tadi berdiri itu telah duduk di samping kanan Pierre.
“Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tidak menyukainya selama ini. Maksudku, dia cantik. Seingatku dia memiliki banyak penggemar. Dan lagi umurnya hanya setahun di bawahmu—kurasa kau terlalu muda untuk menjadi seorang sutradara. Jadi, kenapa tidak?”
Pierre membuka kelopak matanya dengan malas dan memutar kedua bola mata hazel-nya. Perlahan ia menoleh ke arah Stephan. Hening sejenak saat Pierre menatap dalam mata abu-abu Stephan hingga akhirnya ia mendengus kesal.
“Kenapa harus?” tanya Pierre.
“Baiklah kembali ke permasalahan. Aku ingin kau mengenalkanku dengannya. Boleh?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Macarons and the Lovers
RomanceSophie Fournier, seorang gadis pemilik kedai Macarons, tak pernah menyangka kalau kue kecil itu akan mempertemukannya dengan cinta. Dibalik kesukaannya pada Macarons, Pierre Durand ternyata menyimpan kenangan masa lalu dengan kue kecil itu. Ini kis...