Chapter 2 - What Do I Know?

532 51 38
                                    

Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.

.

.

.

Bila kau pikir kisahku akan mirip seperti Cinderella maka, aku harus berkata, maaf bila mengecewakanmu. Karena, faktanya tidak persis seperti itu. Berbeda dengan dongeng, aku yakin kau mengerti bila aku mengatakan bahwa kehidupan nyata itu sedikit ... rumit? Ups, salahku. Kau benar, harus aku akui, sedikit adalah anggapan yang amat sangat meremehkan. Kehidupan nyata terkadang bisa sangat rumit dan kusut.

Dan, Kawan, aku tahu kau berpikir bahwa kau akan mendapati hubunganku dan Sesshoumaru mendekat secara bertahap, seiring waktu yang berlalu, aku dan dia lebih menghabiskan banyak waktu bersama, dan disaat itulah buih-buih cinta mulai muncul, tapi tidak. Dengan jam kerja yang mengejar kami secara terus-menerus, tidak ada waktu untuk sebuah penjajakan.

Titik balik tanpa ada jalan kembali di hubungan kami berawal dari suatu kejadian yang tak terduga yang sebenarnya tidak dapat kubanggakan.

Oke, mari kita lanjutkan ceritanya.

Waktu itu, aku sudah dua bulan kerja di bawah arahannya.

.

"Masuk!" Baritone itu terdengar, aku membuka daun pintu lebar-lebar, lalu melangkah ke dalam ruangan luas dan benderang itu. Sepasang safir emas hangat menatapku, spontan, genggaman berkas yang ada di tanganku semakin erat, buku-buku jariku sudah pasti memutih sekarang. Sekeras mungkin, aku menjaga agar langkahku tidak terlihat kaku, menata wajah agar terlihat normal, tapi apa daya, tak ada yang kuasa menahan derasnya aliran darah ke pipi yang menyebabkan rona merah muda karena rasa malu, tak terkecuali diriku.

Aku berdiri di seberang meja sesshoumaru, menelan ludah, rasa gelisah, serta panik yang melanda. Ketika pria yang menjadi atasanku itu meneliti berkas yang baru saja aku serahkan, aku memejamkan mata kuat-kuat, lalu mengembuskan napas panjang secara perlahan.

Pria itu mengangkat wajah. Kala mataku bertabrakan dengan dua manik tajam miliknya, fokusku sontak melenceng dan tiba-tiba, papan nama, keyboard komputer, bolpoin, dokumen-dokumen, dan beberapa benda lain yang bertebaran di meja terlihat begitu menarik. Namun, karena tak mau terlihat tidak sopan, beberapa kali aku mengangkat wajah berusaha menatapnya, meski hanya bertahan sedetik lamanya. Pada akhirnya, aku terus berdiri dengan kepala tertunduk, menjawab beberapa pertanyaan yang pria itu ajukan tentang beberapa janji yang dijadwalkan dengan kalimat pendek.

Tatkala Sesshoumaru menyatakan bahwa aku diperbolehkan meninggalkan ruangannya, ada segelintir kekecewaan di dadaku. Menepis gundah tak berdasar yang kurasakan, aku memaksa kaki kananku bergerak, disusul yang kiri, aku melangkah dengan kecepatan normal. Hanya selangkah lagi aku mencapai pintu, disaat itulah ia memanggil namaku, "Higurashi."

Aku memutar tumit dan berdiri di tempat. Dengan sekuat tenaga aku menahan dorongan untuk tidak melakukan kebiasaan buruk tiap kali aku merasa gugup_mengunyah bibir bawahku_dan menyahut, "Iya, Tuan Taisho."

"Duduklah!"

Aku mendekat, menarik kursi, duduk, lalu menunggu ia membuka percakapan. Selama tiga detik yang berlalu dalam penantian dibawah sorot lekat pria itu, jantungku terasa berhenti berdetak.

'Apa aku akan dipecat? Semoga saja tidak. Jika memang itu adalah keputusan terbaik yang harus diambil setelah kecelakaan itu, kurasa tak mengapa.' Aku mencoba untuk tersenyum, tapi lengkung bibirku memudar kala pikiran lain saling susul-menyusul di dalam kepalaku. 'Mengingat cicilan apartemen yang belum terlunasi, kurasa itu bukanlah keputusan terbaik untukku.'

I Can Keep A Secret, Can You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang