1

358 20 3
                                    

Tatkala mendung seperti mengerti, betapa kenyataan yang kumiliki memang pantas tuk kutangisi.

Nasib sial. Mencari pekerjaan hanya dengan lulusan SMA memang sulit.

Toko, perusahaan, restouran, sudah kusambangi. Tapi tetap saja gagal.

"Makanya kamu kuliah aja! Kerja di bank, kayak kakak kamu!" Begitulah setiap hari ayah memarahiku.

Aku menghela nafas di saat angin lebih dingin dari biasanya.

Aku ingin sekali membalas perkataan ayah. Aku tidak ingin hidup seperti kakakku. Dia seperti serigala dalam sekumpulan domba-domba, seolah-olah malaikat tetapi dia penyihir. Aku benci kakakku? Ya. Benci sikap dan perilakunya.

Kau tahu? Dia korupsi. Ayah juga tahu, dan ayah ingin aku sepertinya?

Aku juga ingin kuliah, seandainya ayah membiayaiku. Tapi? Dia sama sekali tidak berniat begitu, kecuali aku masuk jurusan akuntan.

Yang benar saja? Aku ingin masuk jurusan psikologi, sekalian nanti kalau aku lulus akan ku obati mental mereka yang sakit.

Makanya, kuputuskan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya untuk keperluan kuliahku. Tapi, tak satupun pekerjaan yang kudapat.

Aku merasa akan meledak, kenapa juga harus ada ayah seperti itu.

Kuharap tuhan berbaik hati padaku.

Kakiku sudah lelah melangkah. Ku jatuhkan pantatku dipermukaan bangku kayu di sebuah tempat.

Aku tidak tahu tempat ini sebelumnya, aku ke sini karena aku sedang melamun dan tidak enak hati.

Seandainya aku tuli, tuhan.

Izinkan hanya suara-suara yang baik yang aku dengar.

Seandainya aku bisu, tuhan.

Izinkan hanya perkataan baik yang aku ucapkan.

Biar tangan ini memberi dan menggenggam.

Biar kaki ini melangkah dan menapakkan sebuah harapan bagi insan yang lain.

Seandainya aku buta, tuhan.
Izinkan hanya syurga yang aku lihat.

Aku menatap ke atas dan mengintip awan hitam di balik rintikan air hujan.

Berandai-andai itu terkadang lebih mudah dari semua yang kita lakukan.

"Hujan." Ucap seseorang. Dia mengangetkanku karena kupikir tak seorangpun yang sedang duduk di bangku ini.

Dengan sebuah tongkat dan pakaian yang cukup rapih, dia memandang lurus ke depan. Sesekali dia mengedipkan matanya.

Dari samping pria itu tampak biasa saja. Namun aku menyadari dia tidak 'biasa saja'

Jika dugaanku benar tentu saja. Mata sedikit putih di bola mata hitamnya, tongkat, dan kedipan mata yang sangat jarang.

'Buta?'

Aku berjinjit pelan berjalan di depannya. Aku terdiam menyadari dia memang buta.

Tapi seperkian detik pandanganku berubah, dia berdiri dan menatapku sembari tersenyum.

"Ada apa nona?" Tanyanya lembut, selembut suaranya. Aku terkesiap dan bingung untuk menjawab.

'Ah.. Sial, pasti aku menyinggungnya'

"Um maaf, sikap saya sangat tidak sopan!"

"Gak apa-apa. Hanya jangan berpikir hanya karena saya buta, indra saya yang lain tidak berfungsi." Ucapnya.

"Saya benar-benar minta maaf, saya-"

"Saya maafkan, tapi besok datanglah ke sini lagi."

"Um, saya tidak yakin datang atau tidak." Tentu saja aku menolak. Dengan kemelut masalah kuliahku, aku harus segera mencari uang. Tidak boleh menghabiskan waktu bertemu dengan pria ini.

"Tak apa, nanti saya tunggu."

"Kalau begitu saya duluan, kalau hujannya semakin deras saya akan kesulitan untuk pulang. Sampai jumpa besok."

"O.. Oke."

Akankah aku datang? Wahai mr Blind?

CaecusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang