Musik di pagi hari itu sengaja aku keraskan volumenya, menandakan 'kebebasan' dan 'kemenangan' terhadap ayah, dan kakak.
Setelah beberapa hari mengurusi beasiswaku, akhirnya aku bisa berkuliah sebagai mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di kotaku.
Selama itu juga aku mencari penyelenggara beasiswa itu. Ku dapati sebuah nama, yaitu PT Benjaya, sebuah perusahaan yang cukup terkenal di bidang manufaktur.
Namun, meskipun aku telah berhasil kuliah, aku tetap mencari pekerjaan dan nasib mujur aku mendapatkannya. Meski hanya pegawai paruh waktu di sebuah cafe.
Nah sekarang, di meja makan aku melahap nasi goreng sembari puas melihat wajah frustasi ayah.
'I can do it, for my dream.' Ejekku dalam hati.
"Pagi dek.. cie.. jadi maba nih." Goda kakak. Moodku seketika memburuk. Sifatnya yang sok baik ini membuatku muak.
Ku taruh sendokku ditumpukkan nasi goreng yang masih banyak itu, meneguk segelas air putih dan pergi begitu saja. Aku tidak tahu reaksinya, tapi bisa kalian tebak tentu saja setelah aku mendengar kakak memanggil namaku.
Aku tidak menyukai ketidakjujuran. Termasuk apa yang pernah kakak lakukan, itu terburuk ketika dia sendiri yang menanamkan nilai kejujuran padaku.
Aku menaiki angkutan umum yang menuju ke arah kampusku. Sepanjang perjalanan aku melihat keramaian pagi hari, bisingnya kendaraan-kendaraan yang berlomba-lomba menuju tempat tujuannya, atau beberapa orang yang mulai mencari nafkah untuk kehidupannya.
Aku terlalu kecewa.
Pada sosok yang kupikir adalah pahlawan.
Jika pahlawan melakukan kesalahan,
harusnya dari awal kau jadi dirimu saja.
Agar aku, terbiasa dengan apa adanya dirimu.
Kakak..
***
D
Di depan gerbang aku berpapasan dengan Dyta yang baru saja sampai di antar oleh ojek daring.
Dia melambai padaku, memberikan senyuman yang sangat menular. Ku akui dia memang anak yang manis. Rambut pendeknya yang terawat, kulitnya yang halus, serta wajahnya yang memang terlihat sangat muda. Oh, dan jangan lupakan gigi gingsul dan lesung pipinya.
"Hai, kebetulan sekali." Ucapku menyapanya.
"Ah iya ya, seperti takdir!" Jawabnya bersemangat.
"Oh iya, soal kemarin.."
"Kemarin?"
"Aku belum tau namamu."
"Soal itu ya?"
"Oh, namaku.. Caron."
"Caron?"
"Caron Poivre." Setelah aku menyebutkan namaku, aku bisa melihat wajahnya sedikit terkesan dan bingung.
"Eh gimana?"
"Caron, seperti Karen."
"Kamu bule ya?" Tanyanya polos. Aku tertawa ringan menyadari raut wajahnya tetap terlihat seperti terpesona.
Aku mendahului Dyta melangkah masuk ke gerbang, menoleh kepadanya sehingga rambut panjangku sedikit berkibas oleh angin, dan berkata "Kau akan tau setelah menjadi temanku."
Aku meninggalkan Dyta yang mengejarku di belakang. Sementara senior-senior yang menjadi panitia itu menyuruh kami segera memasuki Hall yang sudah dipersiapkan.