7

185 8 4
                                    

"Jadi?" Aku menatap sebuah baju yang diberikan Ryan. Sebuah baju yang bagus dan kelihatan mahal dan bermerek. Baju itu begitu halus jika dipegang dan wangi yang begitu mewah.

"Pakailah, nanti masuk angin." Ryan duduk di kursi dekat sebuah harpa.

"Kamar mandinya di mana?"

"Di sini aja kali."

"Haaah?!!! Kamu gila ya?! Masa ganti baju di sini?! Dasar kamu mesum!"

"Haha. Lupa ya kalau aku gak bisa liat?" Ryan tersenyum. Mungkin lebih tepatnya nyengir kuda.

Deg. Haduh aku lupa.

"Ya.. Ya tetep aja! Ya masa ce.. Cewek.. Di depan cowok?" Ryan terdiam. Bodo ah! Aku cari aja sendiri itu kamar mandi.

'Aduh.. Muat ga ya?'

Aku menerawang baju indah itu. Ukurannya terlihat kecil. Aku menatap cemas baju itu.

'Seinget aku sih sebulan yang lalu BBku naik.'

Aku perlahan memakai baju itu. Baju itu pas di tubuhku. Harum itu melekat di kulitku. Cukup hangat namun tetap sejuk.

'Woah! Muat! Bagus banget!"

Aku pun keluar dan sayup-sayup aku mendengar sebuah alunan melodi yang sangat merdu. Suara itu berasal dari ruang tengah tadi.

Kulihat Ryan sedang memainkan harpa itu. Begitu menyatu dengan suara hujan. Begitu hanyutnya Ryan dalam permainannya sampai ia memejamkan matanya.

Melodi yang indah dan melankolis itu sanggup membuat airmataku jatuh. Entah perasaan apa yang aku rasakan mendengar dan melihat Ryan. Kesan nada yang menyiratkan sebuah kesedihan dan seperti sebuah harapan.

Aku mengambil Handphoneku dan merekamnya. Dengan begini aku akan terus melihat harapannya. Mungkin.

"Ryan." Panggilku. Panggilanku itu menghentikannya.

"Owh udah ya?" Tanyanya begitu ringan. Suaraku parau karena sempat menangis. Karena itu aku  tidak bersuara kecuali panggilan tadi.

"Kamu kenapa? Kamu.." Ryan meraba-meraba angin dan akhirnya menyentuh wajahku yang basah oleh air mata.

"Kamu nangis?"

"Ehem. Ngga. Tadi cuci muka." Jawabku bohong.

"Hm.."

"Ryan."

"Iya?"

"Kamu bisa main harpa?"
'Aku pikir itu pajangan doang.'

"Iya, dulu pas aku masih bisa liat."

"Owh.."

"Kamu nunggu aku?"

"Owh iya! Singkatnya aku mau kasih tau kamu, aku dapet beasiswa itu!"

"Wih, hebat dong? Kamu pinter berarti."

"Ya iyalah haha. Eh tapi maksudnya Rumah Makan Haji Wawan itu apaan???"

"Ya itu maksudnya sebelum kamu tes ya sarapan dulu, biar sehat dan semangat."

"Semangat apaan, kalau tau buat seleksi beasiswa ya aku belajar dulu lah di rumah, ini boro-boro belajar."

"Ya kalau kamu tau itu beasiswa, takutnya kamu malah nolak."

"Iya juga sih."

"Kamu bisa masak ga?" Tanya Ryan mengganti topik.

'Yakali iya bang.'

"Ngga. Hahahahaa." Aku menjawab dengan tertawa datar.

"Yeh, kok cewek gak bisa masak. Laper gak?"

Dibilang nggak, ya laper. Tapi keburu kesel dibilang gak bisa masak!

"Ga."

"Yah ngambek dong. Aku ajarin masak heheh."

"Ya udah iya."

Kami menuju dapur. Ryan pergi tanpa kesulitan sama sekali. Ya pasti lah rumah sendiri pasti hapal.

Ryan menyuruhku mengambil beberapa bahan-bahan yang ada, sementara dia yang mengolahnya.

'Jago masaknya.'

Akhirnya masakan itu jadi. Tampilannya enak dilihat, harumnya menusuk, begitu menggoda iman. Eh menggoda selera maksudnya haha.

Setelah kami makan bersama, aku pamit pulang dan berterimakasih pada Ryan.

Hah.. Semangat diriku.

Gomen ne minna-san. Aku pikir bisa pake audionya aja ternyata ga bisa. Jadi bebas sih mau buka atau ngga.

Dan.. Aku mulai haroream alias males lanjutin cerita ini. As usually cerita aku emang rame di awal doang:')

CaecusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang