Aku menyelesaikan pendaftaran beasiswa dan menjalani aktivitas perkuliahan tanpa beban.
Dyta, gadis yang kemarin aku temui di ruang seleksi menjadi teman pertamaku di sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup terkenal.
Ayah dan kakak ikut membantu biasa kos, makan dan lain-lain. Meski aku tidak terlalu mengharap bantuan itu.
Ibaratnya seperti bertani. Mungkin kemarin-kemarin aku memanen dengan cara nomaden, setelah aku bertemu seorang pria yang baru saja aku temui, dia memberitahuku cara termudah untuk bertani. Akhirnya aku memanen buah itu dengan kepuasan dan tanpa rasa cemas.
Masalahnya, pria itu hilang selama 3 hari. Ya, Bryan tak ada di bangku tempat itu selama 3 hari.
Kali ini aku sengaja datang telat ke tempat itu. Hal itu disebabkan karena harapanku untuk bertemu Bryan mulai terkikis.
Aku memejamkan mata dan merasakan setetes air jatuh di wajahku. Gerimis tepatnya.
Gerimis itu perlahan mulai serius untuk menembaki manusia-manusia yang tidak memakai payung.
'Gak ada lagi.'
Aku menghela napas dan berpikir mungkin Bryan takkan datang lagi. Aku menghirup aroma petrichor dan yang kucium adalah bau parfum yang kalem. Perlahan aku membuka mataku dan terpantul bayangan seorang pria dengan setelan formal sedang memayungiku.
"Nunggu aku ya?" Tanyanya.
"Bry.. Um, kamu?"
"Pindah yuk!" Ajaknya dengan senyuman yang indah.
"Kemana?"
"Tempat tinggalku. Di sana." Bryan menunjuk sebuah jalan, dan dari jauh yang tampak hanya sebuah rumah megah nan mewah.
"Kamu.. Ga lagi coba nipu aku kan?" Tanyaku berhati-hati. Meskipun Bryan ini sudah menolongku mencari beasiswa, tetap saja harus waspada. Kan siapa yang tahu kalau dia itu siapa? Nah namanya aja aku tidak tahu.
"Santai aja. Aku ga bohong kok. Liat aja bajuku, baju mahal kan?"
"Iya sih."
"Aku ada kok baju untuk perempuan, baju kamu basah lho."
"Ya udah oke. Kamu yang ajak ya." Aku berdiri dan sedikit terkesiap. Ternyata jarakku dengan Bryan cukup dekat sampai-sampai aku menatap matanya yang jarang berkedip itu dengan jelas.
"Yyyyyyya udah yuk!" Aku memilih mendahuluinya. Mata Bryan memang sekilas berwarna hitam, tetapi ternyata berwarna cokelat. Seolah-olah matanya menghisap perhatianku dan aku tak ingin itu terjadi lagi.
'Sebaiknya aku gak natap matanya lagi'
Kami berjalan menuju rumah itu. Kami berdiam dan membisu, hanya rintikan air hujan yang jatuh saling sahut-menyahut.
"Aku aja yang bawa payung." Aku menawarkab diri, karena merasa tidak enak pada Bryan yang harus memegangi payung juga mengingat jalan ke rumah mungkin.
Tiba-tiba dia berhenti. Saat hatiku bertanya 'mengapa?', Bryan memengan tanganku dan menaruhnya di gagang payung.
"Adil kan?" Tanyanya sembari tersenyum. Aku hanya menunduk malu.
'Ngapain baper, please!!'
"..."
"Um.."
"Ya?"
"Sebenernya dari awal kita belum kenalan, aku pikir kenapa ngga? Kan kita sekarang udah jadi teman?"
'Ngapain!!!'
"Hm.. Jadi kita saling kasih tau nama?" Tanya Bryan dekat gerbang rumahnya, namun sedikit jauh.
"Iya."
"Jadi?"
"Aku Carron Poivre, panggil aja Carie."
"Owh.. Nama yang bagus." Bryan memuji dengan menatap lurus kedepan, layaknya tingkah orang tuna netra.
"Jadi.."
"Hm?"
"Nama kamu siapa?"
"Apa aja boleh."
"Yang serius!" Aku memukul pelan bahu Bryan.
"Serius, panggil aja apa yang kamu mau."
Aku berpikir sejenak. Masa aku bilang aku sering memanggilnya 'Bryan' dari kata 'Blind'? Tidak sopan ternyata jika dipikir-pikir.
"Gimana?" Tanyanya.
"Bryan?"
"Jangan!"
"Terus?"
"Ryan."
"Hah?"
"Kamu bisa panggil aku Ryan."
"Nama asli kamu Ryan?"
"Bukan, cuma aku gak suka nama Bryan, jadi hilangin aja B nya."
"Oke."
Akhirnya aku mengetahui namanya. Ku koreksi, bisa memanggilnya dengan namanya. Aku menatap wajahnya.
'Hai Ryan.'
*Yey, akhirnya ada namanya ya meskipun nama pria itu entah siapa:D. Sengaja dari kemaren ditunda-tunda, biar taunya pas mereka kenalan haha. Kalau masalah nama asli 'Ryan' ya kapan-kapan lah hahaha:D*