CHAPTER II

112 9 3
                                    


GREYSON

Anna sudah tertidur pulas.

Sementara ia tengah bercengkrama dengan Alice, membahas banyak hal.

Kami sedang berbicara mengenai David dan Emily saat Alice tiba-tiba berkata ia mengantuk.

Ketika tenda mereka sudah tertutup sempurna, Greyson duduk sendirian disana.

Tak tahan berdiam diri, ia memutuskan untuk kembali ke dekat api unggun, menemui Harry dan David.

Sedikit lagi. Tinggal beberapa meter mencapai kumpulan teman-temannya yang sedang seru bernyanyi bersama, saat ekor matanya menangkap secercah cahaya jauh didalam hutan.

Jika diingat-ingat lagi, Greyson sering menyumpahi tokoh dalam film-film yang pernah ditontonnya.

Bodoh sekali, katanya.

Yang dilihat selalu si 'bodoh' tanpa pikir panjang mempertaruhkan nyawa demi memuaskan keingintahuannya dalam menghampiri hal-hal aneh. Kenapa banyak dari mereka dengan mudahnya termakan umpan yang justru berujung bahaya? Payahnya, mereka seringkali hanya sendirian dalam ketakutan. Memangnya kemana semua orang?

Misalnya, saat kau melihat cahaya jauh didalam hutan.

Yang masih berpikir sehat akan berbalik dan memberitahu yang lain atas temuannya. Jikalau ada sesuatu, setidaknya akan lebih baik daripada berjalan sendiri dalam gelapnya hutan.

Namun tampaknya Greyson telah kehilangan akal sehatnya.

Pasalnya, langkahnya justru membawanya mendekat, menuntunnya pada setitik cahaya dalam kegelapan nan jauh disana.

Keramaian yang beberapa saat lalu hadir didepan matanya kini tak lain adalah pepohonan tua menyeramkan yang menghiasi gelapnya malam. 

Bak magnet yang menyihir dirinya, ia terus melangkah maju. Entah apa yang ia harapkan, tapi rasa takut yang membuat kakinya gemetaran pun tak sama sekali menggoyahkan keinginannya untuk menghampiri cahaya tersebut. Firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang hebat menanti disana.

Mungkin semacam petunjuk harta karun? Atau bahkan peri hutan cantik yang berkilauan seperti di film?

Ia tersenyum getir, jadi kau ini siapa? Tokoh fiksi, eh?

Setelah beberapa menit berjalan menyisir hutan, rasa pegal dikakinya terbayar sudah saat didapatinya asal cahaya itu tinggal beberapa langkah didepannya. Ia tersenyum puas, merasa bangga dapat sejauh ini hanya dengan secercah cahaya sebagai satu-satunya petunjuk. Tanpa pikir panjang ia berlari menghampiri.

Sungguh disayangkan, namun kenyataan terkadang memang tak semanis itu.

Greyson harus menelan kekecewaan yang sangat saat yang didapatinya hanyalah sebuah kaca pembesar. Memantulkan sinar rembulan yang sedang 'penuh' diatas sana.

Saat itu baru ia tersadar, telah melakukan hal yang dianggap bodoh olehnya selama ini. Pikirannya terlalu dipenuhi oleh fantasi yang sedang digemarinya akhir-akhir ini dan menjelma menjadi gila, apa yang sebenarnya ia pikirkan saat hendak menuju kesini?

Apa tadi? Harta karun? Peri?

Ah, Dasar. Ia menendang kaca pembesar tadi jauh-jauh.

Memikirkan jika saja kawan-kawannya mengetahui hal ini sukses membuat wajahnya panas, apalagi Anna. Tidak, gadis mungil itu tidak boleh tau tindakan konyolnya. Ia harus segera kembali sebelum yang lainnya menyadari kepergiannya.

Namun, Greyson yang malang dihadapkan oleh masalah baru.

Ia tidak tau kemana jalan kembali ke perkemahan.

Sial. Sungguh cahaya pembawa sial.

Ia terus menggerutu kesal sebelum memutuskan untuk berjalan lurus.

Greyson memeriksa sakunya memastikan apakah ada sesuatu yang dapat berguna sebagai penerangan dan ia mendapatkan sebuah senter.

" Payah, lalu untuk apa aku mengangkutnya sedari tadi?"

Dinyalakannya senter tersebut, namun alih-alih mulai berjalan Greyson justru terdiam.

Bulu kuduknya seketika berdiri, badannya membeku saat menyadari ada 'sesuatu' yang  tertangkap cahaya senternya. Namun kini telah lenyap.

Hampir saja ia berfikir sedang mengkhayal lagi ketika mendengar suara pijakan daun kering diiringi derap langkah kaki.

Ia sangat yakin suara itu tidak hanya berasal dari dalam kepalanya.

Dan semakin yakinlah ia saat sebuah kepala muncul dari balik pohon besar tak jauh disampingnya.

Seketika sekujur tubuhnya lemas. Senter terjatuh dari genggamannya, mata nya terbelalak kaget

Dihadapannya, seekor Singa, amat besar, sedang menatap nya layaknya sepotong daging siap disantap.

Seumur hidup, sungguh inilah hal yang paling disesalinya. Perbuatan bodoh tak beralasannya untuk datang kesini.

Yang benar hanyalah firasatnya yang mengatakan bahwa sesuatu yang 'hebat' menantinya, bagus sekali.

Perlahan ia mundur, namun Sang Singa tak melepaskan mangsanya dengan mudah.

Singa tersebut mengaum dengan agungnya, sedetik kemudian menerjang Greyson yang gemetar hebat ditempat ia berdiri.

Jeritan dahsyat lolos dari bibirnya.

Satu hal yang ia pikirkan saat itu,

Ia tidak akan selamat.

The Lost Island : The PortalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang