PRANGGG
BRAKK
Sayup sayup suara teriakan terdengar dari balik pintu kamar tidur. Gadis itu menghela nafas lelah seraya menyenderkan kepalanya di pintu membiarkan bulir-bulir bening mengalir dipipinya sakit teramat sakit mendengar orang tuanya bertengkar, lebih sakit lagi mereka selalu menyebut kata perceraian.
Perceraian tidak akan membuat keadaan lebih baik, justru memperburuk keadaan. Ia tahu betul apa yang akan terjadi setelahnya. Menjadi anak broken home? Pura-pura bahagia? Lalu mati seperti sahabatnya?
Mengapa harus ada pernikahan kalau ada perceraian? mengapa melahirkannya? Apa karena cinta? Cuihh. Alasan yang klise. Menjadikan dirinya imbas dari sebuah keegoisan.
Apakah tidak sedikitpun mereka memikirkannya? Apakah hanya keegoisan yang didahulukan? Tak tahukah mereka bahwa keharmonisan keluarga yang paling diinginkan oleh seorang anak? selalu begitu setiap mereka kembali kerumah
Nara melangkahkan kakinya gontai menuju jendela, ia mendongakkan kepala menatap awan mendung mendominasi langit ia terkekeh pelan sepertinya cuaca hari ini sangat mendukung suasana hatinya.
Lalu gadis itu mengambil diary yang tergeletak bisu diatas nakas, diary ini yang menjadi tempat keluh kesahnya selama 2 tahun terakhir dan juga kenang-kenangan terakhir mendiang sahabatnya.
Ia amati setiap lembaran dairy tersebut yang tak luput dari pengamatan indranya rasanya bila menggoreskan tinta disini ibarat bercerita langsung dengan sahabatnya.
Sahabat, yang pergi meninggalkannya sebelum mengucapkan selamat tinggal, menorehkan luka dalam diselaput tipis lebam, membuatnya semakin perih. Hingga hanya untuk bangkit saja, ia harus jatuh berkali-kali.
Nara masih mengingat dengan jelas wajah sahabatnya bagaimana ia menghiburnya tanpa pamrih, bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama hingga tabir malam menyapa dan bagaimana sakitnya menyaksikan itu semua.
dengan sekali hentakan didekapnya diary itu dan menghirup oksigen sebanyak banyaknya hingga memenuhi relung paru parunya sangat menyesakkan mengingat hal itu.
"Agni aku kangen, kamu disana pasti bahagiakan? Doain aku ya agar aku bisa bahagia juga," gumamnya tersenyum miris menertawakan realita yang dengan tega merenggut sahabatnya
Hanya Agni yang menjadi tempat keluh kesahnya selama ini. Tidak mungkin ia mengandalkan kakaknya yang brengsek itu kan?
Gadis itu melirik jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam sepertinya orang tuanya sudah 'selesai'.
ia melangkahkan kaki menuju ranjang lalu membaringkan tubuhnya menghadap langit-langit ia berharap esok menjadi lebih baik******
Pukul 07:00
Mentari dengan pongah siap memancarkan sinarnya pada Sang buana. Payoda beriring dan berarak tipis menghiasi Nabastala, membuat siapa saja yang melihat kagum akan keindahan Sang Pencipta. Dibawah sana, Orang-orang hilir mudik terlihat sibuk mencari kendaraan umum yang terlihat penuh. Bunyi klakson bersahut-sahutan melalang buana menjadikan telinga yang mendengarnya seakan pengang.
Suasana hari itu sangat sibuk karena hari itu adalah hari senin hari yang sebagian orang membencinya.
Tak kecuali gadis bername tag 'Nara Anindita'. Ia berkali-kali mendengkus kesal mengedarkan netranya gusar. Sekarang sudah siang ia harus memantapkan hati mendengar kicauan para seniornya nanti. Lagipula jangan salahkan dia, suruh siapa hari ini tidak ada angkot? Lagian salahkan juga mamanya kenapa tidak membangunkannya. Lebih memilih pekerjaan yang katanya bisa mengubah hidup seseorang.
Dan disinilah dia berada. Selonjoran dengan nafas ngos-ngosan menatap tajam kedepan. Setelah nyaris dua jam berjemur dibawah 'hangatnya matahari' karena kesalahannya terlambat pada hari pertama MOS. Sialan emang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anila Salaksa
Teen FictionHening. suasana lenggang sekitar menyisakan deburan ombak yang menerpa dinding cadas berbeda dengan pikirannya yang berkecamuk memikirkan semua teka teki yang Nara alami Angin berhembus menerpa wajah, menerbangkan anak rambut, dingin menusuk tulan...