Pagi hari di hari kamis. Burung sudah lama bertengger di depan pagar rumah, sampai-sampai, kicauan nyaringnya membangunkan para tetangga. Suara ayam yang berkotek pun telah lama lenyap sedari fajar. Bahkan, saat ini... Mang Asep sudah berada di depan rumah, berteriak sampai membuat burung kenari yang tadi hinggap di pagar pergi.
"Sayur! Sayur!" teriaknya sambil memukul wajan kecil yang mengeluarkan suara nyaring.
Sudah menjadi rutinitas Mang Asep untuk menjajakan sayuran di kompleks ini. Bahkan, saking seringnya ia berada di sana, hampir semua ibu-ibu kompleks pada pukul 08.30 berdiri di depan rumah hanya untuk menantikan kedatangan Mang Asep.
Tapi, sayangnya... hanya sebagian orang yang akan menunggu kedatangan Mang Asep di depan rumah, pun terganggu dengan kotekan ayam, cuitan burung, pula dengan suara nyaring yang khas dari wajan yang sering dipukul Mang Asep. Faktanya, tepat di tempat Mang Asep berdiri menjajakan sayuran, di depan sebuah rumah mungil berwarna krem, masih saja sepi. Tirai yang menjadi penutup kaca-kaca rumahnya pun masih tertutup rapat. Seolah-olah, bagi siempunya rumah, pagi ini masih terlalu dini.
Rumah itu memang sengaja dibangun dengan ukuran yang tak terlalu luas. Sebab, penghuni rumah hanyalah sepasang adik—abang yang kebetulan sewaktu kecil sudah ditinggal orang tuanya ke surga. Mereka besar bersama eyangnya, namun... sudah sedari empat tahun yang lalu, eyang semata wayang mereka pun menyusul kedua orang tuanya. Hingga akhirnya, kedua saudara itu tinggal berdua.
Pagi ini, Adnan sengaja libur dari kantor. Beberapa hari yang lalu, dia mendengar kabar dari Cicho—kawan kuliah adiknya—Seruni, jika sudah satu tahun lebih adik perempuannya itu tidak masuk kuliah. Awalnya dulu, saat Adnan bertanya kenapa selama ini adiknya belum juga wisuda, Seruni menjawab dengan alasan jika jurusan yang diambil sangatlah sulit, itu sebabnya ia mengambil semester lebih. Namun rupanya, alasannya bukan hanya itu. Seruni tidak lagi kuliah karena dia selama ini bekerja, di toko Ouval Research yang tak jauh dari tempatnya kuliah.
Adnan geram, merasa dibodohi selama ini oleh adik kecilnya, adik yang begitu ia cinta. Dan, saat inilah dia yang akan membodohi adiknya. Agar Seruni, mau melanjutkan kuliahnya sampai selesai.
Awal kuliah memang Seruni sering mengeluh kepada Adnan, jika mata kuliah yang diterima sangatlah susah. Dulu, dia pikir, jika masuk ke dalam jurusan Teknik Informatika hanya sekadar mengetik di Ms.Word belaka. Namun nyatanya, jurusan yang ia ambil lebih rumit dari itu.
Adnan maklum kenapa Seruni mengeluh, adik kesayangannya itu memang Adnan akui tak begitu pandai. Namun percayalah, di mata Adnan, Seruni selalu pandai untuk mencuri hatinya.
Adnan berjalan ke arah lantai dua setelah ia menyiapkan sarapan untuk Seruni. Memang, keputusan memasak sendiri, dan bahkan hampir selama ini Adnanlah yang memasak itu diambil berdua. Keduanya tidak suka dengan adanya penghuni baru, meskipun itu adalah seorang pembantu. Meski pada akhirnya, hanya Adnan yang melakukan pekerjaan rumah. Sementara adik perempuannya itu lebih sibuk untuk melakukan hobi anehnya. Hobi yang selalu membuat Adnan mengerutkan kening, karena melihat pengeluaran lebih di biaya bulannnya. Dan itu membuat Adnan hampir gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERUNI
Teen FictionSeruni, wanita berusia 25 tahun memiliki hobi yang unik. Dia bukanlah pecinta buku-buku layaknya kutu buku, pula dengan memasak atau bahkan mengumpulkan pakaian mahal. Seruni hanya ingin tampil cantik, dan demi kata 'cantik' itu ia rela merogoh uang...