1

38.6K 683 229
                                    

“Jangan percaya, jeng. Semua laki-laki itu buaya.” Begitu ucap Bu Wenni, tetangga sebelah yang juga teman arisan dan teman ngrumpi kalo sore.

Sejak pindah di kompleks ini dua tahun lalu, Linar memang lebih akrab dengan Bu Wenni dibandingkan dengan tetangga lainnya.

Usianya sekitar 40-an. Pembawaannya ramah dan riang sehingga terkesan cepat akrab. Kepadanya, Linar sering curhat mengenai anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Bu Wenni memang bisa buat tempat curhat. Rumah tangganya terlihat aman dan tentram, Keluarga sakinahlah istilahnya.

Suaminya seorang pejabat yang eselonnya cukup tinggi di pemerintahan. Anak pertamanya sementara kuliah di Fakultas Kedokteran salah satu Universitas Negeri. Sementara anak keduanya sebentar lagi lulus SMA. Keluarga berencana katanya. Dua anak lebih baik.

Ucapan Bu Wenni terngiang-ngiang terus di telinganya. Sejauh ini, hubungan rumah tangganya tergolong indah. Suaminya seorang karyawan perusahaan terkemuka yang menggurita hingga seluruh penjuru negeri.

Meski sesekali keluar daerah untuk urusan kantor, tapi kebanyakan waktu kerja suaminya adalah di dalam kota.

Setiap malam, ia menyambut suaminya pulang dan menemaninya makan malam. Sesekali diajak makan malam romantis di restoran terkenal. Atau nonton film hollywood terbaru di bioskop.

Nothing strange. Everything’s fine. Begitu pikirnya. Suaminya juga sangat care dengan anak-anak. Meski tidak terkesan memanjakan, karena sering dia dengar ia berbicara pada anak-anak mereka mengenai perlunya membeli sesuatu yang benar-benar dibutuhkan, tapi ia selalu berusaha menyediakan kebutuhan vital mereka, terutama yang terkait dengan pendidikan.

Apa yang harus kukhawatirkan?
Pikir Linar.

"Semua laki-laki buaya”. Ucapan Bu Wenni lagi. Tapi ia ingat semua tindak tanduk suaminya dalam 7 tahun pernikahan mereka.

Tidak pernah neko-neko. Tidak pernah melakukan kesalahan. Bersih mengkilap. Ia dicintai oleh orang tua dan keluarga besar Linar. Suami idaman kata saudara-saudaranya.

 Jangan percaya, jeng. Bu Wenni lagi. Linar merasakan bibir Bu Wenni komat-kamit mengucapkan dua kalimat itu berulang-ulangtepat di depan matanya.

Jelang pukul 20. Terdengar deru mesin mobil memasuki garasi. Linar bergegas ke meja makan memastikan semua hidangan dan perlengkapannya telah tertata sempurna. Ia lalu menuju ke pintu depan dan mendapati suaminya berjalan memasuki ruang tamu. Wajahnya tampak lelah, tapi di bibirnya terkembang sebuah senyum yang tak pernah lupa ia tampilkan setiap memasuki rumah. Lalu basa basi mengenai anak-anak dan pekerjaan kantor yang berat. Lalu mereka makan malam, mandi air hangat, nonton dan tidur.

Rutinitas itu berlangsung setiap malam. Kadang diakhiri dengan percintaan yang menggebu hingga keduanya terhempas kelelahan. Linar puas, suaminya juga.

Meski sudah 7 tahun menikah, intensitas percintaan mereka masih cukup tinggi.

Kadang Linar diam-diam membandingkannya dengan suami lain yang didengarnya dari cerita ibu-ibu kelompok arisan atau tetangga-tetangganya.

Sesudah melenguh puas, suami Linar tergeletak kelelahan.

Langsung tertidur. Tapi dari wajahnya terlihat ia sangat puas. Linar mengambil selimut dan menutupkannya ke atas tubuh suaminya. Ia buaya, karena ia laki-laki. Pikiran itu tiba-tiba berkecamuk di kepalanya kembali.

Mata Linar nyalang memandang langit-langit. Ia bangkit dari ranjang, berjalan perlahan ke sisi tempat tidur dan menemukan telepon genggam suaminya.

“Periksa hand phone nya. Biasanya ia ganti nama perempuan dengan nama laki-laki.” Begitu kata Bu wenni suatu waktu.

Ia lalu menekan tuts telepon itu dan menelusuri seluruh panggilan yang dilakukan suaminya seharian ini. Begitu pula dengan pesan singkat. Inbox, out box, pesan terkirim, draft, delivery report atau apapun. Meski ia mencari sesuatu, tapi hati kecilnya tidak ingin menemukan apapun. Ternyata memang tidak ada apa-apa. Iapun kembali ke tempatnya dan tertidur pulas, siap mengawali aktifitas untuk keesokan harinya.

****

Menghapus seluruh pesan dari inbox dan pesan terkirim ke sebuah nomor tertentu, menghapus seluruh delivery report pesan singkatnya, serta menghilangkan jejak panggilan masuk atau panggilan keluar ke nomor itu dari telpon genggamnya, adalah ritual yang wajib dijalani Jordan setiap hari saat ia sudah menuntaskan seluruh aktifitas hariannya di kantor.

Betapapun lelahnya ia setelah duduk berjam-jam di depan komputer, atau setelah lelah mengunjungi kantor-kantor cabang perusahaannya yang tersebar di berbagai sudut kota, aktifitas yang satu itu tidak pernah dilewatkannya. Jempolnya sudah terbiasa bersibuk ria, bergerak lincah dari tuts yang satu ke tuts yang lain melakukan “pembersihan”.

Memasuki kompleks perumahan tempat tinggalnya dua tahun terakhir ini, Jordan kembali mengecek isi Hpnya. Memastikan tak ada jejak yang tersisa sama sekali. Begitu mobil memasuki garasi, iapun bergegas keluar dan membiarkan sopir menyelesaikan tugansya.

Memasuki ruang tamu, Istrinya yang cantik sudah menyambut dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan singkat. Lalu menggandeng tangannya menuju meja makan. Setelah basa basi tentang anak-anak dan pekerjaan kantor yang berat, mereka makan malam. Mandi air hangat. Nonton lalu tertidur.

Kadang, jika istrinya melakukan sentuhan-sentuhan khas yang sudah dipahaminya, ia akan segera mengumpulkan sisa tenaga lalu menggempur istrinya seperti pemuda kasmaran yang mabuk kepayang. Dipuncak kelelahannya, ia tampilkan senyum kepuasan sebelum jatuh tergeletak kehabisan tenaga.


*****






Sebuah pesan singkat muncul di layar teleponnya,

“jam berapa ke sini, Mas?” Jordan buru-buru menjawab.

“Sebentar sayang. Tunggu habis rapat staf dulu.”

“Ok, Mas.”

Usai rapat staf, Jordan menyelinap keluar lewat pintu belakang kantor, lalu mengambil taxi dan meluncur ke sebuah apartemen yang tidak jauh dari situ. Bergegas ia menuju elevator dan menghilang di balik pintunya. Sesaat kemudian, ia sudah berada di lantai 12. Badannya dari tadi sudah gemetar membayangkan keindahan tubuh Dara, gadis muda berbadan imut yang kulitnya mulus bagai pualam.

Di depan pintu, Jordan mengeluarkan sebuah kunci gesek elektronik dari saku celananya, lalu membuka pintu. Di ruang tamu apartemen mewah itu, telinganyadiserbu suara piano Richard Clayderman yang membawakan lagu “Ave Maria.” Ruang tamu itu lengang.

Tanpa menimbulkan suara, Jordan berjalan menuju ke kamar tidur. Perlahan ia buka pintu lalu melangkah masuk. Dilihatnya Dara di tempat tidur. Jordan menutup pintu kamar. Lalu berjalan menghampiri Dara yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Posisi dara yang membelakanginya, dengan pinggul menjulang indah membangkitkan gairah Jordan. Jordan berbaring di sisi Dara lalu merangkulnya dari belakang. Dara menggeliat lalu menoleh, wajahnya berhadapan dengan wajah Jordan yang sudah begitu dekat dan menghangatkan wajahnya dengan nafas yang memburu. Dara tersenyum.

“Dari tadi, mas?”

“Baru aja.” Jawab Jordan, seraya melumat bibir Dara. Dara membalikkan badan sehingga mereka kini berhadapan.

“Buka bajunya dulu, mas. Ntar kusut.” Kata Dara, setelah bibirnya terbebas dari Jordan. Jordan menurut. Lalu kembali melompat ke atas tempat tidur. Mereka lalu tenggelam dalam gelora asmara yang membara.

Satu jam kemudian, Jordan bangkit dari tempat tidur. Usai membersihkan diri di Kamar mandi, ia sudah berpakaian lengkap.

“Aku harus kembali ke kantor sekarang.”

“Kapan ke sini lagi, mas?”

“Segera, sayang. Segera.” Katanya lalu sebuah ciuman panjang yang enggan dilepaskannya mengakhiri pertemuan itu. Ia berjalan kaki keluar dari pekarangan apartemen lalu mengambil taxi dan meluncur kembali ke kantornya yang letaknya tak jauh dari situ.

Setibanya di kantor, ia kembali tenggelam dalam kesibukan. Tapi kali ini ia lebih ceria dan lebih bersemangat. Selingkuh membuatku jadi lebih energik. Begitu pikirnya.

Bersambung ....

Bukan Suami SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang