2

24.5K 553 123
                                    

Kegundahan hati Linar kembali bangkit usai bertemu Bu Wenni sore tadi. Walau selama satu setengah jam Linar berusaha meyakinkan Bu Wenni, bahwa di telpon suaminya tak ada sesuatupun yang bisa dijadikan bukti adanya perselingkuhan, tapi Bu Wenni terus merecokinya dengan berbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan oleh Linar.

"Jeng, perhatikan pengeluaran suami." Kata Bu Wenni.

"Kalau suami selingkuh, pengeluarannya pasti tidak wajar," lanjutnya.

"Harus ada dana yang dikeluarkan untuk membiayai hubungan itu, jeng. Mana ada perempuan yang mau ditiduri dengan gratis sekarang ini."

Linar terdiam. Selama ini ia memang tidak pernah mengutak atik total pemasukan suaminya. Yang dia tahu, seluruh kebutuhan rumah tangganya terpenuhi. Dia juga punya rekening bank sendiri yang setiap bulan selalu diupdate oleh sang suami.

Belum lagi dua lembar kartu kredit yang limitnya cukup untuk membiayai kebutuhan insidentilnya. Bahkan kepada orang tua dan adik-adiknya, suaminya tidak pernah menolak jika ada yang butuh bantuan.

Terakhir, ketika ayahnya masuk rumah sakit karena serangan jantung, suaminyalah yang membiayai seluruh biaya pengobatannya.

Mungkinkah pemasukan suaminya lebih besar dari yang dia ketahui selama ini sehingga mampu membiaya seorang atau beberapa orang perempuan lain?

Linar terduduk dengan perasaan masygul. Celoteh Bu Wenni tentang tetangga lain yang malas bayar arisan sama sekali tidak nyangkut di kepalanya.

Kecurigaan yang disulut Bu Wenni perlahan-lahan mulai membakar hatinya.

Benarkah suami idaman yang menemani hidupnya tujuh tahun terakhir ini adalah buaya?

Benarkah kebaikan suaminya selama ini hanyalah satu sisi dari dua sisi kehidupan suaminya yang ternyata berseberangan?

"Coba jeng sekali-sekali periksa rekeningnya, atau bill kartu reditnya. Jangan-jangan ada pengeluaran suami yang tidak jeng sangka-sangka." Linar hanya mengangguk pelan,

"Udah, ya. Saya pulang dulu."

Linar mengangguk lagi dan membalas dengan enggan lambaian tangan Bu Wenni yang beranjak pulang ke rumahnya.

Rekening Bank, tagihan Kartu Kredit, struk belanja atau apa saja. Pasti ada yang tertinggal. Linar bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju ruang kerja suaminya.

Di ruangan yang juga berfungsi sebagai perpustakaan itu Linar berdiri mematung. Pandangannya diarahkan berkeliling sambil berpikir, dimana pencariannya dimulai.

Dengan jantung berdebar, ia mulai bergerak ke meja tulis berukuran besar lalu duduk bersandar di kursi berjok empuk yang bergoyang menerima tubuhnya. Beberapa berkas yang tergeletak di sudut meja diambilnya lalu dibuka lembar demi lembar. Tak ada apa-apa.

Dia tidak akan menyimpan bukti seperti itu dengan asal-asalan, ucapnya, menirukan Bu Wenni. Kemudian tangannya menjangkau handle laci meja.

Ditariknya laci itu satu persatu, dengan ujung jarinya yang lentik ia menelusuri apapun yang ada di dalam setiap laci sampai akhirnya ia merasa bodoh.

Tidak ada apa-apa di sini. Seluruh buku tabungan dan rekening koran tersimpan rapi. Sepertinya tidak dicetak sejak dua bulan terakhir.

Tapi dari yang tercetak, Linar tidak menemukan kejanggalan apa-apa. Sejumlah pengeluaran berjumlah besarmemang terlihat dari deretan angka-angka itu, tapi Linar tahu bahwa itu untuk pengeluaran rutin keluarga mereka. Berbagai macam premi asuransi, cicilan kendaraan dan beberapa investasi reksadana.

Bukan Suami SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang