4

18.9K 540 76
                                    

Linar kembali menjalani aktifitas rutinnya seperti biasa.

Melepas suami berangkat ke kantor, menjemputnya di malam hari dengan senyum termanis yang dimilikinya, serta dengan hidangan makan malam yang dengan cermat ditatanya di atas meja makan.

Tanpa mengabaikan Bu Wenni, Linar lebih menganggap semua yang didengarnya sekedar sebagai tambahan informasi yang membuat wawasannya lebih luas.

"Saya merasa lebih enjoy dengan cara seperti ini, Bu Wenni." Katanya suatu pagi di sebuah salon kecantikan,

"Konon, kalau terlalu dikekang, pria biasanya jadi lebih liar. Lagipula, kalo dasarnya mereka memang tidak menghormati pernikahan atau doyan selingkuh, makin dikekang makin liar."

"Iya, Jeng, Benar juga." Bu Wenni mengiyakan, walau terlihat kurang setuju.

Mereka masih berbincang sebelum akhirnya berpisah untuk melanjutkan aktifitas masing-masing.








***









Jordan melangkah ringan memasuki kantor. Seperti biasa, hampir seluruh staf yang dilewatinya disapa dengan ramah. Sekretarisnya yang bernama Bella langsung berdiri.

"Pak ada tamu dari Kementerian."

"Kapan?"

"Dari tadi, sekarang mereka di ruangan Bapak."

"Kok ga bilang?"

"Udah, pak. Dari tadi saya nelpon bapak tapi HP bapak ga aktif. Saya telpon ke rumah kata Ibu bapak sudah berangkat dari tadi."

Jordan merogoh saku mengeluarkan telpon genggam dan mendapati benda itu masih offline.

Sialan, umpatnya.

Semalam ia terpaksa mengubah mode telponnya karena Dara selalu menelpon.

Jordan menuju kantornya.
Di dalam ia mendapati tamunya sedang berdiskusi.

Salah seorang diantaranya ia kenal sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, namanya Gunawan.

Dua orang lainnya diperkenalkan sebagai Konsultan Pengawas. Mereka berjabat tangan dan berbasa-basi seperlunya.

Gunawan membeberkan maksud kedatangannya, katanya, atasannya tidak puas dengan barang yang dipasok oleh perusahaan Jordan. Kualitasnya rendah, tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam kontrak.

Kok bisa ya?
Jordan berpikir, padahal standar prosedur pada saat masuk gudang telah melewati uji mutu.

Pasti rusaknya di Gudang, katanya dalam hati. Seharusnya aku selalu mengecek prosedur penyimpanan di gudang. Jordan mendesah, mulai menyesali dirinya sendiri.

Masalahnya, kata Gunawan, waktu yang diperlukan untuk penyelesaian proyek ini tinggal tiga bulan.

"Jadi, bagaimana dengan barang saya yang sudah ada di lokasi?" Tanya Jordan.

"Maaf, pak. Tidak bisa kami gunakan. Konsultan pengawas kami tidak merekomendasikan pemakaiannya." Dua pria lainnya mengiyakan. Mereka diam, menunggu respon Jordan lebih lanjut.

Pikiran Jordan melayang pada proses pemesanan, dokumen import, shipping, dan deliverynya ke lokasi. Ia butuh waktu.

"Berapa lama waktu saya, Pak Gun?"

"Satu minggu."

"Apa, satu minggu?" Sergah Jordan,

"mana mungkin kami bisa menggantinya dalam satu minggu?"

"Maaf, pak. Kita dikejar deadline batas akhir pencairan dana di sekretariat kementerian. Seluruh administrasi proyek ini harus selesai sebelum pertengahan Desember."
Gunawan menambahkan bahwa jika dalam waktu satu minggu ke depan perusahaan Jordan tidak bisa mensupply dengan barang yang tepat, maka atasan Gunawan terpaksa melakukan pemutusan kontrak.

Jantung Jordan menciut, kontrak itu bernilai ratusan miliar.

Bukan hanya itu, untuk memenangkan tender, Jordan harus menyuap sejumlah pejabat dan panitia pengadaan di kementerian itu dengan angka tidak kurang 15% dari nilai kontrak.

"Pak, boleh saya minta tambahan waktu?" Tanya Jordan, memohon.

Gunawan menggeleng

"Ada pasal dalam MoU kita yang mengatur tentang waktu. Coba bapak lihat pasal 34, di situ tertulis, bilamana Pihak Kedua, ini maksudnya perusahaan Pak Jordan, tidak bisa menepati waktu ..."

Pendengaran dan penglihatan Jordan sudah kabur. Ia tahu isi pasal itu dan ia juga tahu bahwa di ujung pasal itu, Pihak Kementerian bisa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak.

Gunawan masih membentangkan sejumlah dokumen mengenai denda ratusan juta rupiah atas kelalaian menepati kontrak yang semakin membenamkan Jordan.

Ia hanya memandangi tumpukan kertas itu dengan mata nanar. Rasanya seluruh bangunan jatuh menimpa kepalanya.

Saat Gunawan dan rekan-rekannya pamit ia hanya melambai dan berjanji akan mengusahakan penyelesaian masalah itu secepatnya.

Satu minggu? Mana mungkin. Bantahnya dirinya sendiri.

Ia mengomel dan mengeluarkan sumpah serapah seraya berjalan gontai menuju ke meja kerjanya.

Di sana ia menjatuhkan diri di kursi kerja yang empuk, tapi sekarang terasa berduri.

Telpon di atas meja berdering, ia diam.

Berdering lagi, ia masih mematung, hanya matanya yang menatap benda itu.

Ketika telpon itu berdering untuk kesekian kalinya, akhirnya dengan malas ia mengangkat gagangnya.

"Mas..." terdengan suara seorang wanita di ujung sana.

Itu Dara, sejak tadi malam Jordan sebenarnya merasa kesal pada gadis itu. Saat nonton TV dengan istrinya, Dara menelpon ke HP Jordan.

Untungnya, yang muncul di layar telpon hanya deretan angka yang sudah dihapal Jordan di luar kepala. Sehingg ia bisa meyakinkan istrinya bahwa paling-paling itu adalah panggilan kesasar. Makanya, untuk mengamankan, ia ganti mode telponnya ke offline.

"Sudah kubilang jangan nelpon kalo aku sudah di rumah, atau jangan telpon ke nomor kantor. Kamu sudah gila, apa?" Bentak Jordan,

"Kamu ..."

"Maaasss, aku hamiiiil!!!!"
Dara berteriak dari seberang sana. Memutuskan kata mutiara yang sudah siap terlontar dari mulut Jordan.

"Aku hamil..." katanya lagi diiringi isak tangis. Jordan kehilangan kata-kata.

Bersambung

Bukan Suami SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang