BAB IV

963 333 481
                                    

Setelah acara kelulusan selesai dan masa liburan telah usai, banyak siswa-siswi mulai memikirkan bagaimana masa depannya kelak. Ada sebagian dari mereka yang memilih untuk bekerja dan sebagian lagi memilih untuk mengembang pendidikan yang lebih tinggi. Contohnya Dyra, ia lebih memilih melanjutkan pendidikannya lagi untuk mencapai tujuannya.

Semua maba sudah terlihat berbaris dengan rapi layaknya seorang TNI yang sedang melaksanakan apel paginya. Mereka sudah bersiap dengan Ospek pertama yang akan mereka lakukan. Ospek pagi ini di awali dengan perkenalan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan yang lainnya.

"Perkenalkan nama gue Javin Alando, kalian bisa manggil gue Javin, jabatan gue di sini sebagai ketua Ospek, jadi gue harap kita saling bekerja sama untuk kelancaran Ospek ini. Mengerti?"

"Mengerti!!" teriak seluruh maba.

"Ck. Ngapain sih pakai perkenalan segala, nggak ngerti udah panas apa," gerutu salah satu maba.

"Sstttt ... jangan berisik, nanti kena hukuman, Daylon."

"Iya, iya ini diem kok, Dy." Daylon memutar bola matanya malas.

Acara perkenalan itu berlangsung membosankan, ada yang menguap, ada yang mengipasi dirinya karena kepanasan, ada yang sibuk mengaca dan ada yang sungguh-sungguh memperhatikan setiap ucapan seniornya.

"Kalian udah ngerti kelompok kalian kan?"

"Sudah, kak!"

"Boro-boro ngerti, gue aja nggak baca tuh tulisan yang mereka kasih."

"Day," peringat Dyra. Daylon hanya membalasnya dengan tersenyum.

"Kalian sekarang juga udah ngerti siapa nama senior kalian yang akan memandu kalian, jadi setelah saya bubarkan, gue harap kalian segera berbaris mengikuti senior kalian, mengerti!"

"Mengerti!"

"Bubar barisan, jalan!" setelah mendengarkan intruksi dari ketua Ospek, semua lautan maba itu segera mencari di mana senior itu berada, mereka heran, padahal belum lama tadi mereka di hadapannya, namun sekarang hilang entah kemana.

Gadis dengan ikatan kuncir dua itu memasuki taman dalam Universitas ternama di Jakarta, ia masuk dengan sedikit berlari, pasalnya jika ia terlambat sedetik saja itu sama saja ia sudah menyerahkan hidupnya pada senior.

Perasaan larinya kaya di slowmotion deh, lelet banget.

Ia terus berlari hingga membuat topi yang terbuat dari bola sepak yang terbelah setengah itu menjadi miring, serta papan namanya hampir saja putus karena terombang-ambing oleh angin ketika ia tengah berlari.

Ia bingung, kenapa seniornya itu membawa mereka menuju taman dalam Universitas itu? Apa yang akan ia lakukan pada maba-mabanya? Dyra tak habis pikir, pemikiran absurd apa yang terlintas dalam benak seniornya itu.

Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, "Dua menit lagi, Dy, kamu pasti bisa!" katanya menyemangati dirinya sendiri.

Tanpa Dyra sadari, salah seorang senior beririskan mata kopi sedari tadi memperhatikan Dyra dari jauh. Sesekali ia tersenyum miring ketika Dyra berhenti sejenak untuk sekadar bernapas. Kini, Dyra sudah berada di hadapannya dengan napas terengah dan jangan lupakan pipinya yang memerah.

DIFFERENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang