Bab 1

397 36 40
                                    

Sejak pukul 08:15 pagi, jalan raya Cinunuk mulai ramai. Jalanan penuh dengan pergumulan para pengendara sepeda motor, berdesak-desakan ingin segera sampai di kantor. Kendaraan roda empat bak kerbau yang kekenyangan, sebab berjalan lambat karena antrean padat di sepanjang jalan Soekarno-Hatta menuju kota Bandung.

Tidak berbeda dengan arah sebaliknya, jalanan yang dilalui Haris ini juga terkena imbasnya. Sesekali dia berpikir di antara kemacetan itu; apakah kemacetan ini adalah takdir yang tidak dapat diubah? Ataukah kesombongan para pengendara yang tidak mau mengalah? Jika demikian, kesadaran seperti apakah yang dapat mengatasi kemacetan ini? Haris lalu melajukan mobil hitamnya tanpa pikir panjang lagi. Dia menyalakan sirene kepolisian dan menyambar celah kosong dan meliuk di jalanan yang padat.

***

Di sebuah rumah semi permanen tipe 47, tim dari kepolisian sedang sibuk mencari petunjuk guna mengungkap pelaku pembunuhan dengan korban yang dimutilasi. Korban tersebut adalah laki-laki yang disinyalir berusia 24 tahun.

Selesai merapikan kemeja di dalam mobil, Haris menuju halaman depan rumah tersebut. Ada dua orang polisi bertubuh jangkung yang sedang menjaga bagian halaman, sementara yang lain berada di dalam. Pakaian keduanya sangat rapi, tidak seperti biasanya. Mungkin karena malam ini malam Minggu.

"Bagaimana keadaan di dalam?" tanya Haris setelah menerima sambutan dari ke dua penjaga itu.

"Siap, Detektif!" jawab mereka serentak.

Kemudian, salah seorang dari mereka menambahkan, "Kondisinya masih seperti kemarin. Kami belum bisa menemukan apa-pun, setidaknya sebelum kami berdiri di sini. Kami harus menjaga bagian depan rumah ini karena beberapa kali para wartawan ingin masuk mencari berita."

"Terus halangi mereka, jangan sampai menerobos masuk TKP," pinta Haris dengan tegas.

Haris menuju ruang tamu, lalu ke ruang tengah. Di ruang tengah, seorang rekannya yang bernama Tedi, berdiri tepat di samping jejak mayat korban pembunuhan ditemukan. Tedi seperti anak pramuka yang tersesat saat menyusuri hutan. Melihat kedatangan Haris, dia seolah menemukan penunjuk jalan untuk menolongnya.

"Aku merasa senang sekali kau cepat ke sini, Haris," sapa Tedi, lalu menyalami Haris.

"Bukankah baru kemarin kita bertemu?"

"Ah! Kau seperti tidak tahu saja. Ini kan kasus pertamaku," sahut Tedi lagi.

"Lalu, apa yang kau temukan hari ini."

Tedi tidak menjawab dan hanya mengangkat bahu.

***

Di lantai ruang tengah itulah mayat korban pembunuhan tergeletak dalam posisi tengkurap dengan anggota badan yang terpotong-potong. Pemuda yang sungguh malang karena dalam kondisi seperti itu, keluarga korban masih berada di luar negeri.

"Apakah kakaknya akan ke sini?" tanya Haris.

"Kemungkinan dua hari lagi," jawab Tedi sambil mengangkat ponselnya yang berbunyi.

Beberapa menit setelah menerima telepon, Tedi memberikan informasi yang mengejutkan. "Haris, kau tidak akan percaya ini!" ucapnya dengan wajah cemas. Tedi cemas karena kasus yang sedang ditangani masih belum selesai.

"Ada apa? Kenapa mukamu seperti itu?"

"Kasus baru lagi!" katanya.

"Kalau begitu, bagus," jawab Haris. Lagi-lagi Tedi mengeluarkan wajah anehnya karena tidak percaya akan perkataan Haris yang menanggapi kasus lain dengan kata 'bagus'.

"Aku tidak mengerti!"

"Seiring waktu, kau akan mengerti. Sekarang panggil Eka untuk menggantikan posisi kita di sini," perintah Haris.

Haris meminta kepada Tedi untuk memaggil Eka Munawar menggantikan penyelidikan di rumah tersebut. Selain itu, Haris juga memberi arahan kepada dua petugas yang sedang berjaga di depan. Sejurus kemudian, Haris dan Tedi berangkat menuju ke TKP yang baru.

***

Menurut laporan, seseorang telah menemukan mayat yang sudah terpotong-potong di dalam kardus dan diletakkan di sebuah pemakaman. Jalanan menuju TKP di wilayah Sindang Laya cukup terjal dan mendaki, ditambah kondisi jalanan begitu memprihatikan. Jalanan di sana seperti habis terkena batu meteor, berlubang dan sangat mengganggu perjalanan Haris.

Untuk menuju ke pemakaman tersebut, mobil harus hati-hati karena jalanan menanjak. Selain itu, jalan yang hanya beralaskan batu-batu dari bukit di atasnya itu hanya cukup untuk satu mobil. Jadi jika ada mobil berlawanan arah, maka dengan terpaksa satu mobil harus mengalah.

Awalnya mereka kesulitan menemukan lokasi TKP, karena tempatnya cukup jauh dari perumahan warga. Tapi setelah melihat orang berbondong-bondong menuju ke arah yang sama, akhirnya kedua detektif itu pun menemukan lokasi TKP.

***

Setelah menepikan kendaraan, Haris dan Tedi segera menuju ke TKP. Pemakaman tersebut berada di lereng, luasnya hampir dua kali lapangan sepak bola, membentang dari atas ke bawah. Sebuah pemakaman yang dibangun pada lahan terbuka di atas bukit, milik seorang pengusaha Cina yang sudah bertahun-tahun tinggal di kota ini. Bangunan megah pemakaman-pemakaman itu seperti kelenteng untuk berziarah. Satu bangunan makam biasanya berisi satu jenazah, tapi ada juga yang tergantung bentuk makamnya. Jika bangunan itu luas dan besar, biasanya satu keluarga dimakamkan di sana.

Mayat ditemukan di sebuah makam yang tidak terlalu megah, namun cukup luas untuk menampung dua puluh orang. Sebuah batu nisan bertengger di ujung makam yang menghadap ke barat. Di bagian belakang batu nisan tersebut mayat dengan kondisi mengenaskan ditemukan.

TKP sudah diamankan sebelum Haris dan Tedi tiba di lokasi. Garis batas kepolisian dijaga ketat oleh beberapa anggota untuk mencegah warga yang penasaran. Satu anggota sedang memotret potongan tubuh kecil yang tergeletak di bawah batu nisan yang besar itu. Satu sampai tiga petugas lainnya menyusuri rumput ilalang di depan makam dengan radius 5 meter dari mayat ditemukan. Mereka mencoba mencari barang bukti yang tertinggal atau sengaja dibuang oleh pelaku. Mereka menggunakan empat metode pencarian barang bukti di TKP seperti biasanya.

***

Selang dua puluh lima menit berlalu, lahan tersebut telah disisir dengan sangat rapi, namun tidak ada penemuan yang mengejutkan Haris. Tapi ketika para petugas itu kembali ke titik awal, seseorang menemukan sarung tangan karet berlumuran darah sekitar empat meter dari mayat korban.

Dokter yang didatangkan oleh Haris segera melakukan pemeriksaan terhadap potongan mayat secara cepat. Dokter tersebut mengeluarkan hipotesis, menurut pengalamannya yang sudah hampir sepuluh tahun bekerja sama dengan kepolisian dalam menangani masalah ini.

"Berdasarkan kekakuan pada potongan mayat serta kondisi lingkungan sekitar, mayat sudah berada di pemakaman sekitar 2 atau 3 hari," jelas Sang Dokter.

"Bagaimana Kau bisa seyakin itu, Dokter?" Haris memotong. Dokter itu pun meliriknya, lalu tersenyum.

"Kau memang harus seperti itu, Detektif," ucapnya.

"Aku tidak akan meragukanmu, Pak Tua. Hanya saja, ada begitu banyak Dokter Forensik yang satu profesi denganmu, bahkan mereka lebih lihai dalam mengidentifikasi mayat. Aku harap Kau mengerti arah pembicaraan ini," balas Haris lagi.

Meskipun sudah sepuluh tahun mengenalnya, nampaknya Haris tetap selalu kritis dengan apa yang dikatakan Dr. Reza kepadanya. Ini dilakukan agar tidak menyusahkan saat membuat laporan kepada atasannya. Terlebih dengan gatalnya tangan para pemburu berita yang akan menuliskan apa pun informasi dari dalam TKP tanpa meneliti lebih lanjut dan tanpa mengoreksi apabila ada kesalahan.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi Detektif, Kau tahu kan menu masakan Ponyo yang enak itu? Jika omonganku benar, kau tahu harus ke mana mengirimkan makanan itu?" ucap Dokter Reza kepada Haris dengan berbisik.

"Ha ha ha. Baiklah, baiklah, aku akan membawakan yang spesial untukmu dan istrimu di rumah."

Setelah melakukan pemeriksaan secara singkat. Sang Dokter langsung menuju ke rumah sakit sambil membawa potongan mayat untuk dilakukan visum, serta segera melakukan autopsi atas perintah Haris. Dokter yang bernama Reza itupun segera melaksanakan perintahnya. 

PlagiatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang