Bab 5

188 21 8
                                    

Kedua detektif itu segera menuju ke ruangan Kapten Wicaksono. Di sebuah ruangan berukuran 3x5 meter, Sang Kapten duduk di belakang meja berwarna hitam. Di matanya tergantung sebuah kacamata dengan tali berwarna hitam. Garis-garis dahinya seperti membentuk sudut, mengiringi fokus matanya pada layar ponsel android.

"Boleh saya bantu, Kapten?" Haris menawarkan bantuan kepada Kapten Wicaksono yang terlihat sedang bermain catur itu.

"Tidak usah," jawabnya.

"Hei, Haris. Dia payah sekali, padahal kudanya itu yang... Ups." Tedi berhenti berbisik kepada Haris setelah melihat langkah yang diambil Kapten ternyata salah besar. Sang Kapten segera menutup layar caturnya, kemudian menutup gawai itu dengan tumpukan kertas.

"Apa yang sedang kau bisikan, Tedi?" Kapten Wicaksono melepas kacamatanya.

"Tidak ada, Kapten," jawab Tedi sambil tersenyum kecut.

Sang Kapten kemudian berdiri dan menuju meja di sebelahnya. Ia mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dispenser di sudut ruangan.

"Kapten, Anda sedang sakit?" tanya Haris, menunggu momen ini untuk menanyakan kondisinya. Dari kaca pigura di meja, wajah Sang Kapten terlihat lebih putih pucat akibat pantulan sinar dari sisa-sisa matahari yang mulai meredup.

"Hanya masuk angin biasa. Kata orang Sunda, namanya hareeng. Bagaimana dengan penyelidikanmu di Bumi Orange?"

"Saya masih menunggu pihak keluarganya, Kapten. Dua hari lagi mereka ke sini," jawab Haris. Kapten Wicaksono lalu menyuruh dua detektif itu duduk.

"Terima kasih, Kap," Tedi menyela.

"Kapten," tegur Kapten Wicaksono. "Lalu, bagaimana dengan hasil autopsi pada mayat bocah yang baru ditemukan. Apa kau mencurigai sesuatu?" lanjut Sang Kapten.

"Ya. Kasus yang pertama dan kedua memiliki kesamaan."

"Itu menarik, Haris," Kapten Wicaksono mulai memainkan dagu, "apa itu?"

"Aku rasa juga seperti itu, tapi untuk lebih jelas lagi, Kapten baca laporan ini saja." Haris menyerahkan sebuah berkas dalam map berwarna biru dan melanjutkan, "Saya tidak tega menyebutnya. Semua sudah tertulis di sana."

"Kalau itu alasanmu, baiklah." Ia mengambil berkas itu, lalu mulai membuka dan membaca setiap lembar isinya. Sesekali ia bergumam sambil mengatup-ngatupkan mulutnya. Suara geram dikeluarkannya ketika membaca bagian kronologis penemuan mayat serta kondisinya.

"Kapten, dari kasus ini, mungkinkah kita menghubungkannya dengan kasus pada 2015 lalu di Pulau Sumatera?"

"Aku setuju dengan pemikiran itu. Data ini memang memiliki kemiripan, tetapi saat ini, hanya kita berdua yang berpikiran seperti itu. Jikalau setidaknya ada dua atau tiga orang lagi yang berpikiran sama dengan kita, kemungkinan kita bisa mengalihkan sedikit perhatian untuk meneliti tentang kasus itu."

"Baik, Kapten. Oh, hampir lupa, apa Eka masih di sini?" tanyanya. Sebelum Haris memasuki ruangan Kapten Wicaksono, ia sempat mencari Eka Munawar. Namun, ia tidak melihat sosoknya yang selalu tampil dengan rambut basah itu.

"Tidak, dia sedang pergi ke pengadilan di Jalan Riau untuk menyerahkan berkas-berkas pidana. Tapi barusan sebelum kau datang, dia menitipkan hasil pencarian tentang kasus anak hilang."

"Baguslah." Haris menyandarkan tubuhnya ke belakang pada kursi yang ia duduki.

"Oh ya, Haris-Tedi, kalian jangan pulang dulu. Kita harus merapatkan barisan. Nanti malam pulul 21.15, kita adakan rapat terbatas dengan elemen lainnya untuk membahas kasus ini. Aku tugaskan Kau untuk memandu acara nanti, Haris."

"Tapi Kapten, ini kan malam minggu, saya ada..." potong Tedi. Secara otomatis, Haris menegur Tedi dengan menginjak kakinya, "Arghh..." teriaknya pelan.

"Ada apa Tedi?"

"Ada tambahan Kapten." Wajah kesal Tedi kepada Haris bercampur dengan rasa takut, membuat rona mukanya memerah tapi tetap tersenyum. Ia mengeluarkan catatan tambahan yang ia tulis dari catatan Dokter Reza dan berkata, "Ini, Kapten."

"Baiklah. Sekarang kalian istirahat dulu, tapi sebelum itu saya minta kalian menyuruh petugas kebersihan untuk merapikan ruangan rapat sebelum ia pulang."

"Baik, Kap," jawab Haris.

"Ya."

Kedua detektif itu berlalu meninggalkan ruangan. Dengan mata melotot, Tedi kesal dengan jawaban terakhir dari Kapten Wicaksono dan beralih pada Haris, "Loh, kok kamu tidak ditegur, Haris?" Haris tersenyum, matanya meledek Tedi.

***

Matahari di ufuk barat mulai terbenam menyisakan pilu berwarna jingga dalam balutan awan hitam. Memanglah senja merupakan waktu yang tepat untuk merindukan seseorang yang tercinta. Entah karena kehilangan atau jarak yang memisahkan, dan waktu yang sudah lama terbuang di masa lalu. Seperti itu pula rona wajah Ibu Reni yang sedang terduduk termenung di depan televisi sambil menunggu anak laki-lakinya, Daffa. Anak semata wayangnya itu belum juga datang semenjak ia meminta izin untuk pergi bermain sepulang sekolah dua hari lalu.

Sementara suaminya yang bernama Dito, masih duduk di atas motor hitamnya, mengelilingi Kota Bandung, berharap anaknya terlihat di pinggiran jalan kota. Meskipun sudah melapor pada kepolisian, dirinya tidak bisa berdiam diri menunggu hasil dari pihak berwajib.

Dari rumahnya yang berada di Jalan Dago Pojok, Dito pergi setelah subuh. Ia menuju ke arah Bandung Indah Plaza (BIP) di mana banyak anak jalanan berkumpul. Lalu ia mengarahkan kendaraannya ke arah Bandung Electronic Center (BEC) yang berada di Jalan Purnawarman. Setelah ia yakin bahwa di tempat itu belum ada petunjuk akan keberadaan anaknya, ia kemudian menuju Alun-alun Bandung. Di tempat ramai seperti itu, sebenarnya Dito tidak begitu yakin anaknya akan berada di sana. Namun, tidak ada yang dapat ia lakukan, selain hanya berusaha.

Pencariannya kini masih belum berhasil. Ia terpikir untuk mencari ke teman-teman Daffa yang masih belum sempat ia kunjungi. Berbekal informasi dari teman-teman Daffa, Dito segera menyisir satu per satu teman anaknya yang lain untuk mencari informasi tambahan.

"Kau tahu, di mana Daffa biasa bermain?" Pertanyaan itulah yang sering ia lempar kepada teman-teman Daffa. Namun sayang, semua anak yang ia tanyai hanya menjawab dengan gelengan kepala.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30, Dito kembali ke rumah dengan tangan hampa, sementara sang istri hanya bisa mengelus dada.

"Maaf, Sayangku, aku masih belum bisa menemukan anak kita,"

"Tidak apa-apa, besok kita cari lagi. Tapi sebelum itu, bolehkah aku meminta sesuatu untuk besok pagi?"

"Tentu! Apa itu?"

"Aku ingin kau mengantarkan aku ke kantor polisi lagi,"

"Kamu serius?" Dito merasa Iba melihat kondisi lemah sang istri yang saat ini terkatung-katung dalam keresahan. Meskipun ia masih semangat mencari anaknya, ia juga sempat memiliki sedikit keraguan yang terbesit dalam hati.

"Iya, aku serius," jawab Reni.

"Baiklah, kalau begitu. Tapi tolong, sebaiknya kita bicara baik-baik saja kepada mereka. Kita sudah sepakat untuk saling bekerjasama dengan kepolisian, kau ingat Haris, polisi yang masih terlihat muda saat di acara pelatihan itu?"

"Iya, aku ingat. Tapi sayang...." Istrinya meneteskan air mata.

"Sabar, Bu. Kita harus terima kenyataan ini. Kita pasrahkan saja sama yang di atas, apapun hasilnya. Meskipun kita sudah maksimal menjaga dan merawat pemberian-Nya dan sekarang musibah menimpa kita, tentu Allah melakukan semua ini tidak begitu saja tanpa ada maksud dan tujuan. Ada begitu banyak hikmah yang bisa kita ambil. Musibah ini, adalah ujian bagi kita untuk senantiasa berharap, juga sebagai peringatan terhadap semua yang telah kita lakukan selama ini. Lebih baik, kita meminta ampun kepada-NYA, semoga kita tetap diberikan ketabahan untuk menjalani ujian ini. Aku tahu perasaanmu saat ini dan aku tidak ingin membuatmu lebih tersiksa lagi. Kita akan melewati semua ini bersama-sama." Dito memeluk Reni, kemudian mengecup keningnya.

PlagiatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang