"Halo, Sayang?"
"Iya, Papa Sayang," jawab istri Haris, Vera. Suara manja nan merdu membuat Haris tenang. Namun, ia mau tidak mau harus memberikan kabar kalau malam ini ia akan pulang telat lagi.
"Maaf sayangku, sepertinya papa pulang telat lagi nih." Haris mendengar suara keluhan istrinya yang membuat ia menjadi tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah jeda keluhan itu, Haris melanjutkan, "Tapi papa janji, besok pagi papa akan ajak kalian ke Ciwidey. Kamu tahu kan, rumah makan berbentuk kapal di atas bukit yang pernah kita lihat di blog wisata itu?"
"Iya, Sayang. Vera masih ingat, tapi janji ya. Tidak akan menghilang lagi seperti waktu itu. Aku dan Rianty ditinggal sendirian di Rumah Sosis, sementara Papa sibuk mengejar jambret di Stasiun Ledeng."
"Ha ha, kau masih ingat."
"Huuuuu...."
"Iya maafin Papa, semoga besok kondisinya lebih aman di sana."
"Iya, Papa."
"Oh ya, Rianty sedang apa?"
"Barusan habis mengerjakan PR, tapi kayaknya sudah tidur."
"Kita buat surprise untuk dia besok, ya."
"Iya, Pa, Vera setuju."
"Oke, sayang. Ya udah, Papa lanjut kerja lagi, ya," pungkas Haris diikuti dengan kata-kata pengganti kecup hangat.
"Iya, Sayangku. Mmuachh... Hati-hati ya, Pa."
"Siap, 86."
***
Jalanan Kota Bandung sudah mulai lengang. Hilir mudik kendaraan tidak lagi seramai pagi dan siangnya. Lampu-lampu taman kota memancarkan kehangatan bagi kota Paris Van Java. Kumpulan muda-mudi berkeliaran dengan jalan kaki menyusuri sungai kecil yang jernih di sekitaran gedung walikota.
Mereka asyik bercengkrama di bawah sinar lampu dengan tiang ukir berwarna cokelat. Kursi besi yang pas untuk duduk dua orang, menambah kehangatan dan kesan romantis bagi kedua pasangan muda. Sementara satu anggota keluarga sedang mengajak anaknya berlari-lari kecil di atas trotoar jalan yang bisa digunakan untuk rekreasi ringan.
Di seberang gedung walikota, sebuah bangunan tua bekas sekolah Belanda yang kini diganti sebagai kantor Polres Kota Bandung juga terlihat sepi. Sekitar satu sampai sepuluh kendaraan roda empat terparkir di sana. Dua orang penjaga sedang bercengkrama di dalam ruangan. Sementara dari luar, seorang tukang parkir ikut nimbrung dengan menempelkan kedua lengannya ke atas tembok pos jaga yang berkaca. Kepalanya ia tundukkan mengarah ke lubang kaca berukuran 20x15 sentimeter agar bisa mendengar obrolan kedua penjaga itu, juga agar ia bisa menyampaikan pendapat-pendapatnya tentang topik yang sedang mereka bahas.
Semua kedamaian itu ternyata belum bisa meleburkan ketegangan bagi divisi kriminal yang saat ini sedang mengadakan rapat terbatas di sebuah ruangan yang letaknya tidak jauh dari ruangan Kapten Wicaksono. Ruangan itu lebih besar dari ruangan Sang Kapten. Di dalamnya terdapat bangku-bangku lipat berwarna putih yang disusun sejajar. Di bagian depan terdapat satu meja cokelat serta kursinya yang biasa digunakan oleh kepala divisi RESKRIM, atau kepala dengan masing-masing divisi, karena ruangan itu sering digunakan oleh banyak divisi.
Ruangan itu sudah diisi oleh mereka yang terlibat dalam proses penyelidikan kasus pembunuhan di Bumi Orange serta tim yang pagi tadi menangani penemuan mayat di daerah Sindanglaya. Kapten Wicaksono telah duduk di atas kursi cokelatnya, sementara Tedi dan Haris berada pada bagian depan menunggu aba-aba. Setelah melaksanakan doa, acara pun dimulai. Haris yang ditugasi memimpin acara segera berdiri. Sementara Tedi membagikan salinan berkas kasus kepada masing-masing anggota.
"Kita mulai dari awal," ujar Haris sembari berdiri layaknya dosen yang akan memberikan kuliah kepada mahasiswanya. Semua yang menghadiri rapat mulai membuka berkas yang sudah diberikan.
Di balik ruangan rapat, seseorang mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Haris membukakan pintu tersebut. "Oh, syukurlah kau datang juga, Eka," tambahnya.
"Iya. Kapten yang menyuruhku untuk segera mengikuti acara ini setelah dari pengadilan. Maaf terlambat."
"Tidak apa-apa, lebih baik terlambat. Silakan cari tempat duduk yang kosong."
Eka Munawar segera menuju kursi paling tengah. Ia seperti habis mandi. Haris yang begitu peka penciumannya, segera melontarkan candaan agar ruangan menjadi segar, "Kau pakai sabun mandi tunanganmu itu lagi, Ka?"
Seisi ruangan pecah dengan gelak tawa, sementara Eka memerah wajahnya, ia tidak begitu terbiasa dengan candaan seperti itu. Namun, ia langsung melihat ke arah Haris yang tersenyum lebar serta berwibawa. Ia ikut tertawa, seolah ia mengetahui komunikasi yang sedang Haris lakukan.
"Prikitiw," sahut Tedi, menambah gelak tawa yang lucu karena tertawanya membuat topi Tedi menutupi wajahnya. Beberapa menit kemudian semua itu berhenti dengan sendirinya.
"Baiklah, kita lanjutkan lagi," kata Haris.
Fakta-fakta berdasarkan temuan petugas dari olah TKP, Haris sampaikan secara rinci. Ia membuat sebuah pola yang acak dari kasus itu seperti isi kepala manusia yang bercabang-cabang. Dari papan putih dan lebar itu ia membaginya menjadi dua bagian dengan garis hitam horizontal untuk kasus pertama dan kedua. Ia lalu membuat satu buah lingkaran penghubung di tengah-tengah garis itu.
Kapten Wicaksono masih mengikuti permainan Haris. Ia paling tahu tentang metode penjelasan Haris yang terkesan seperti sedang membuat sebuah lukisan.
"Ada yang ingin bertanya?" Haris memberikan kesempatan untuk berdiskusi.
"Bagaimana dengan profil masing-masing korban. Apakah ada keterkaitan?" Seseorang bertanya dan sekaligus mengingatkan Haris untuk menjelaskan lebih rinci tentang profil masing-masing korban.
"Baiklah, maafkan saya. Soal itu, sejauh ini tidak ada keterkaitan secara biologis antara kedua korban. Namun, hal menarik yang akan kita bahas mengenai kasus ini adalah ...." Haris berhenti, ia mengumpulkan tenaga, "maaf. Hal yang menarik itu adalah bagian alat vital yang menghilang." Ia menuliskan dengan huruf kapital pada lingkaran yang berada di garis tengah papan putih itu. "Setiap inci pada bagian itu, telah dilakukan penyayatan dengan amat presisi. Tidak ada bagian yang terlewat pada kedua korban. Semuanya memiliki pola yang sama. Seolah pelaku menikmati perbuatannya, seperti seorang pelukis yang membuat gambar dengan penuh kehati-hatian serta kecintaan pada pekerjaannya itu," tutup Haris.
Semua mengangguk, sebagian lagi mulai berbisik-bisik.
"Haris, apa kau menyadari tentang kasus ini ada kemiripan dengan kasus di Sumatera itu?" Eka Munawar mengangkatkan tangan kanannya. Haris tersenyum.
"Bagaimana, Kapten?" Haris meminta izin dan Kapten Wicaksono mengangguk.
"Kau akan menjadi detektif yang hebat Eka?" puji Haris lalu melanjutkan, "Ya, aku dan Kapten sebelumnya telah membahas ini. Memang ada sedikit kemiripan dengan kasus itu. Tetapi kali ini, kita sedang berhadapan dengan pelaku yang cerdik. Dia meniru dan membuatnya lebih rumit dari kasus pada tahun 2015 lalu.
"PLAGIATOR," celetuk Tedi polos.
"Nah, benar sekali, Tedi," kata Haris dan semua mengangguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Plagiator
Mystery / ThrillerHaris adalah seorang Detektif Kepolisian yang ada di Kota Bandung, Jawa Barat. Sebuah kasus pembunuhan yang disertai mutilasi di kotanya, membuat Haris jarang berada di rumah untuk berkumpul dengan keluarga. Sementara di tempat lain, seorang penjaga...