Marry terpeanjat dari tidurnya, dia melirik jam tepat menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia melenguh, lalu heran mendapati Theo sudah tidak disampingnya.
“Theo….”Marry memanggil nama suaminya. Tak ada sahutan. Marry turun dari ranjang sambil mengikat rambut pirangnya yang tergerai. Malam ini 13 Maret 1977, tepat satu tahun yang lalu dia mengenal Theodore.
“Theo…Don’t tease me!please…where are you???” Marry menuruni tangga, mencari Theodore di tepi balkon lantai bawah, tempat suaminya menghabiskan waktu untuk merenung. Benar, Thedore berdiri diantara kegelapan.
“Kau sedang apa sayang?” Marry menyempatkan menyalakan lampu.
“Hufft…” Marry melenguh menyadari listrik sedang padam.
Theodore bergeming. Marry mendekat, mengekor pandangan Theodore. Seketika Marry terkesiap, Sembilan cahaya putih melayang di langit Phoenix, cahaya sangat terang dan membentuk pola V di langit. Marry membekap mulutnya sendiri, kakinya mendadak kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya, dia roboh. Dengan sigap Theodore merengkuhnya dalam dekapannya. Dadanya basah oleh air mata Marry.
“Semsaje sudah datang untuk menjemputku” Theodore terdengar berat, aksen nordiknya kental terdengar di telinga Marry. Marry berharap dia bisa mengubah segalanya dengan air mata.
“Tidak….tetaplah bersamaku, hanya itu yang membuatku tetap baik-baik saja….please…”. Marry meraih wajah suaminya, mengecup rahan tegasnya. Theodore berpaling
“I must go Pleiades…..”
Siang berawan dari 85 hari jatah matahari di Arizona cocok untuk musim pertandingan olahraga antar universitas. Terutama bagi Heidi Efren, gadis tinggi berambut pirang keemasan itu sibuk mempersiapkan tim pemandu sorak. Langkah jenjangnya menelusuri hiruk pikuk kampus.
“Heidi…” Delmar menghardiknya. Heidi menghentikan langkahnya, menoleh dan menunggu Delmar yang mengejarnya.
“Baru selesai latihan?” Heidi membuka percakapan, mereka berjalan beriringan, melewati koridor menuju loker di sudut ruang.
“Ya…pertandingan terakhir melawan Sun Devil.” Delmar berhenti di depan lokernya, meletakkan bola basket yang dia pegang. Heidi menyandarkan tubuhnya di sebelah lokernya.
“Tim pemandu sorak siap member dukungan.” Heidi tersenyum, Delmar tersenyum. Keduanya saling akrab, pasangan serasi untuk sebuah hubungan. Sepasang mata biru menatap mereka berdua di sudut lain.
Jhon berjalan sendiri, seperti biasa dia lebihnyaman dengan kesendirian. Baginya sendiri ada ruang terbesar untuknya bernafas bebas. Tubuh atletisnya terbalut kemeja kotak-kotak dengan rambut gondrongnya tergerai menutupi sebagian wajah putihnya. Tas ransel cokelatnya tampak penuh, selain itu dia berjalan menunduk dengan mendekap beberapa buku tebal di dadanya.
Bruuukkk!!!!
Tanpa sengaja seseorang menabraknya, atau mungkin dia yang menabrak, dia tidak yakin. Semua terjadi begitu cepat, seketika buku-buku dalam dekapannya berserak di tanah. Jhon memilih tidak mempermasalahkannya, dia hanya segera menyembunyikan sorot matanya. Dia tidak suka kalau ada yang beradu pandang dengannya. Dia hanya melirik sekilas, dan dia tahu bahwa barusaja bertabrakan dengan Heidi. Gadis itu selalu ingin tahu. Mungkin jalan yang terbaik adalah segera menghindar dari pada berurusan panjang.
Segera tubuhnya membungkuk mengambil buku yang terserak di tanah, tepat saat itu juga Heidi melakukan hal yang sama, tanpa terasa telapak tangan keduanya saling bersentuhan.
Sllaaaapppp!!!!
Gelap di sudut ruang dengan jendela terbuka, angin menerobos seolah mengoyak tirai putih menghempaskannya keras. Seseorang gadis bergaun putih tersungkur dengan wajah sembab, matanya menatap langit yang juga tampak sendu. Seperti menikmati luka gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTASTIK
Short StorySemua orang pernah jatuh cinta. Klise! Tapi bagaimana jika jatuh cinta pada yang tidak biasa? Apa yang kamu lakukan jika yang kamu cintai adalah makhluk makhluk mitos di penjuru dunia??? Kamu tidak salah... Cinta tetaplah cinta Hanya saja cintamu t...